Selasa, 10 Desember 2013

Ssst ARDAN PENASARAN




Ssst... ARDAN PENASARAN
>>>Putri Raflessia<<<


 
Jarum hujan sedang mengecupi tubuh kehidupan tak tertutup. Tanah yang kering, daun gersang, bunga kecil yang kesemua murungnya tertutupi gelapnya malam. Seorang gadis menatap ke luar jendela kamarnya. Hujan selalu saja menimbulkan romantisme tersendiri di hatinya. Seulas senyum ia poleskan di bibirnya. Sama sekali tak ada seseorang di sampingnya, di depannya atau bahkan di belakangnya. Karena memang dia tersenyum bukan kepada orang tetapi kepada hujan. 

Menyaksikan jejarum hujan yang mengecupi semuanya hingga basah membuatnya begitu bahagia. Perjalanan otak sastranya sudah terlanjur jauh. Memikirkan kisah romantis di bawah hujan, payung menaungi, cipratan air atau apa sajalah. Rea kembali tersenyum lalu menutup jendela kamarnya. Matanya menoleh pada 2 ponsel yang saling berdiam tanpa bersenda gurau satu sama lain. 

Rea meraih ponsel hitamnya lalu mengaktifkannya. Dia tersenyum melihat wajah Ardan di layar ponselnya. Jejarum rindu yang mengecup hatinya membuat otaknya untuk memerintahkan memasang wajah itu menjadi wallpaper. Kontak ‘Ardan Jelek’ sudah terpanggil dan menunggu sinyal mencabuti sedikit jejarum rindu dari hati lewat suara.

Ardan sedang sibuk, beberapa pekerjaan harus ia selesaikan malam itu tapi entah kenapa dia mau meladeni Rea malam itu. Semua pertanyaan Rea, semua rengekan Rea, semua candaan Rea dan menanggapi permintaan Rea. 

“Pengen ke pantai…” Rea mengucapkan keinginannya datar.

warna biru telah membuat Rea jatuh cinta sehingga ia sangat menyukai pantai, sekalipun panas matahari bakalan membakar dirinya jauh lebih menghitam.

“Pergilah!” sama datarnya dengan ucapan Rea, bahkan lebih datar, sangat datar.

“Ehhm… tapi nggak ada libur, nggak ada waktu.” Lagi, kali ini suara kekanak-kanakan Rea muncul.
“Kamu terlalu sibuk sih.”

“Eheeem… aku terlalu sibuk memikirkaaaaaan……..” Sengaja ia panjangkan kata itu dan dia sangat yakin kalau Ardan bakalan segera menyahut.

Benar saja “Siapa? Memikirkan siapa?” nadanya tak lagi datar, terdengar sekali rasa penasaran itu. Rea tersenyum geli.

“D.ia (baca: dia)”

“Dia siapa? Kamu selama ini nggak pernah cerita pada saya sedang suka dengan seseorang.”

“Masa’? tapi saya pernah bilang kok kalau saya suka orang itu.”

“Nggak…Nggak pernah.”

Alis Rea naik, keningnya berkerut bibirnya bergumam serius sekali. Tetapi mungkin Ardan terlalu serius dan tidak mendengar gumaman Rea.

“Siapa?”

“Rahasia.”

“Kamu kok main rahasia-rahasiaan sama aku sih.” Kali ini nada Ardan berubah menjadi anak kecil yang merajuk. Sungguh orang yang tidak mudah ditebak. 

“Aku udah pernah bilang ke kamu, sungguh. Tapi mungkin kamu juga sudah lupa.” 

“Belum…Siapa?”

Rea terdiam. Dia pernah mengucapkannya memang pada Ardan ketika Ardan menanyakan apakah dia menyukainya. Dengan sangat jelas dia mengungkapkannya pada Ardan.

“Orang mana?” Lagi-lagi nada serius itu. Rea benar-benar tidak mengerti kondisi Ardan beberapa waktu ini. 

Pertama Ardan menasihatinya untuk tidak pacaran

Kedua Ardan tanya mengenai keinginan Rea untuk pacaran.

Ketiga Ardan tanya mengenai ciuman.

Dan sekarang Ardan terlalu serius menanyakan pria yang dicintai Rea.

“Indonesia.” Rea jawab ngasal

“Provinsi?” Ardan masih saja serius.

Rea terkikik “Jawa.”

Ardan mendesah karena Rea menjawab terlalu pendek, nadanya sedikit melemah dari tingkat keseriusan menjadi lebih halus “Jawa mana?”

“Ehmmm itu termasuk mana ya? Jawa Timur.”

“Kabupaten?”

Rea kali ini ngakak, dia benar-benar tidak mampu menyembunyikan kegeliannya lewat senyum. Ardan terlalu aneh, terlalu penasaran, terlalu memaksa, dan terlalu membuat Rea jatuh cinta.

“Ada dech….cari tahu sendiri ya!”

“Kok ada dech???”

Rea kembali tersenyum dan tertawa sambil memegangi perutnya. Tiba-tiba saja pipinya merasa panas memerah. Rea seakan mampu melihat wajah Ardan. Dia benar-benar seakan sedang berbicara dengan lelaki itu di hadapannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar