Selasa, 17 Desember 2013

MELIHAT INDONESIA LEWAT TENUN BIRU


MELIHAT INDONESIA LEWAT TENUN BIRU
>>>Putri Raflessia<<<
 
Judul               : Tenun Biru
Penulis             : Ugi Agustono J
Penerbit           : Nuansa Cendekia
Tahun              : 2012
Tebal               : 362 halaman


Petualangan romantis Ratna dan Janus di tengah kehidupan anak-anak pedalaman. Membaca sebaris kalimat ini sebelum membaca membuat saya menyimpulkan bahwa buku ini pasti hampir mirip dengan Laskar Pelangi milik Andrea Hirata. Buku ini mungkin akan bercerita mengenai guru yang mengajar di satu daerah pedalaman. Akan tetapi kesimpulan saya ini salah ketika saya telah membaca halaman demi halaman Tenun Biru.
Tenun Biru sebuah novel yang ditulis Ugi Agustono menceritakan mengenai perjalanan dua anak manusia yang berasal dari keluarga yang cukup. Keduanya melakukan perjalanan ke berbagai pedalaman di Indonesia dan mengajarkan beberapa pengetahuan kepada anak-anak pedalaman. Ratna dan Janus menjelajahi Kalimantan, Karimunjawa, Bali, Toraja, dan lain-lain. Tidak hanya satu daerah melainkan beberapa daerah di Indonesia yang didatangi Ratna dan Janus. Semua daerah itu digambarkan secara detail sehingga pembaca mampu merasakan ikut berpetualang bersama mereka.
Tenun Biru tidak hanya novel yang menghibur tetapi juga memberikan pengetahuan. Pengetahuan mengenai budaya di Indonesia, pengetahuan mengenai ilmu IPA yang diajarkan oleh Ratna dan Janus, pengetahuan mengenai kemurahan hati dan peduli sesama. Pengetahuan penulis mengenai ilmu pengetahuan dan pengalaman mengelilingi Indonesia benar-benar diaplikasikan di dalam novel ini.
Novel yang mampu membawa kita keliling Indonesia ini tidak hanya memakai bahasa Indonesia di dalam dialognya. Terdapat Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda pada dialog antar tokoh, misal dialog Bi Jum yang memakai Bahasa Jawa. Tidak heran kalau penulis dapat berbicara Bahasa Jawa, tetapi penulisan Bahasa Jawa penulis belum sepenuhnya benar. Seperti pada nyanyian Bi Jum (lihat hlm 21-22) lelo dalam bahasa Jawa itu cara membacanya tetapi tulisannya lela, hal itu berlaku juga pada ojo (aja), biso (bisa), menengo (menenga), mulyo (mulya), dadiyo (dadya) dan seterusnya.
Novel yang begitu panjang wajar jika terkadang terdapat beberapa kesalahan penulisan. Terdapat beberapa kesalahan penulisan kurang huruf. Akan tetapi, ada satu bagian pada halaman 123 yang salah menuliskan nama tokohnya. “Udah, Rul. Nggak ada gunanya kamu ngedumel,” kata Nurul pelan. Seharusnya ini adalah perkataan Ratna tetapi ditulis sebagai perkataan Nurul.
Seperti kata pepatah “Tiada Gading yang Tak Retak”. Novel yang indah sekalipun pasti memiliki kekurangan. Tetapi lewat kekurangan itu pula kita akan belajar. Tenun Biru membuat pembacanya melihat Indonesia dengan segala keindahan alamnya dan budayanya. Alangkah lebih baiknya ada semacam glosarium untuk Bahasa Jawa atau bahasa dan istilah yang lain agar orang yang tidak mengerti menjadi mengerti artinya dan mampu melihat Indonesia seutuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar