HUBUNGAN DARI TUHAN
>>>Putri Raflessia<<<
Lagi meski hanya terhubung oleh sinyal yang tak pernah tahu
bagaimana cara kerjanya menghubungkan suara mereka tetap saja hal itu membuat
pipi Rea memanas memancarkan merah. Malam adalah waktu yang dia pilih untuk
merepotkan sinyal mengantarkan pesan-pesan rindunya. Sebatas sapa, celotehan,
curhatan, gosip, atau terkadang ada perasaan yang benar-benar ingin ia
ungkapkan. Beberapa kali pertanyaan apakah ia mencintai Ardan itu kembali
ditanyakan oleh suara di seberang telefon
.
Berapa kali kau tanya
akan perasaanku kepadamu?
Sesungguhnya jauh
sebelum kau bertanya aku telah memberitahumu.
Dan kini tinggal mata
hatimu yang mengartikan dan menyimpulkan apa yang aku lakukan selama ini.
Jawaban iya dan tidak menurutnya tidaklah penting. Bahkan tiga
pernyataan itu juga hanya disimpan di dalam hati. Dia lebih suka menimpali
pertanyaan dengan pertanyaan. Mungkin sikap kolot
yang dia punya adalah masalahnya. Baginya haruslah lelaki yang memulai berkata
AKU MENCINTAIMU lalu bagaimana denganmu?
Detikan jarum jam menemani sinyal tak terlihat mengantarkan
pesan rindu dua sejoli yang tak pernah bersua beberapa lama.
“Ada apa denganku? Kenapa kamu malam ini sensitif sekali
kepadaku? Apa ada yang menjelek-jelekkanku?” Nada datar yang selalu saja
terlontar dari suara Ardan.
“Kenapa harus menjelek-jelekkan
orang yang sudah jelek?” Rea tersenyum sambil memeluk guling.
“Kalau orang jelek kenapa harus
ditelfon?”
“Ya biarin…memangnya nggak boleh.”
“Kenapa harus nelfon orang jelek?”
Ardan selalu saja mengulang pertanyaannya berkali-kali hingga dia mendapatkan
jawaban yang membuatnya puas.
“Supaya orang jelek ini insyaf
jadi orang yang baik karena ditelfon sama orang yang baik.”
Terdengar bunyi gelak tawa Ardan
dan pasti senyum yang dulunya sering Rea lihat juga menghiasi rautnya. Tanpa
sadar ujung bibir Rea juga tertarik menyimpulkan senyum.
“Ada apa? Ada gosip?” Rea
mengerutkan kening mengorek kejujuran dari seseorang yang ia rindukan.
“Ya biasalah, comblangan lagi. Sama
seperti saat aku sama kamu dulu.”
“Lalu? Jadi?”
“Enggak…”
“Masa’? Sumpah? Beneran?”
“Iya…kalau memang jadi telfon
kamu nggak bakalan saya angkat.”
Bahkan jika Ardan berbohong pun
Rea tak tahu. Tetapi pernyataan itu sedikit membuatnya lega dan memerahkan
pipinya. Tuhan yang telah mengatur cerita di antara keduanya. Hubungan yang tak
pernah tersebutkan apa jenisnya. Dan Rea yakin semua pasti akan diakhiri oleh
Tuhan dengan hal yang terbaik.