BORNDAY REASON
>>>Putri Raflessia<<<
Ardan memandangi nomor yang tadi sore menelfonnya dan tidak
sempat ia angkat. Nomor baru yang sama sekali belum pernah singgah di
ponselnya. Beberapa kali ia memencet keypad
menguraikan sebuah pesan dan beberapa kali pula tombol del ia pencet.
“Kalau memang penting pasti dia telefon lagi.”
Dan benar nomor ponsel itu lagi membunyikkan ponsel Ardan
tepat pukul 20.30. Dia biarkan beberapa lama berdering dan lalu mengangkatnya.
“Halo…”
“Assalamualaikum…Selamat Ulang Tahun.”
Ardan mengernyitkan kening, suara itu jelas-jelas ia kenal. “Rea?”
“Ehem… Selamat Ulang Tahun Mas.”
Ardan terdiam sejenak sebelum mengucapkan terima kasih kepada
Rea. Pikirannya lalu mengembara sendiri. Ketika beberapa bulan yang lalu dengan
sangat jahatnya dia mengakhiri percakapan dengan Rea. Gadis yang jelas-jelas ia
sadari pernah mencintainya. Dan bahkan gadis itu masih ingat kalau hari ini
ulang tahunnya.
–apakah dia tidak sakit hati ketika aku pergi dulu dan sempat
beberapa kali mereject telefonnya? Lalu kenapa dia mengubah nomor telefonnya
apa karena ingin bicara denganku?–
“Nomorku yang dulu hilang sekaligus ponselnya.”
Ardan membelalak seakan isi hatinya diketahui Rea. Buru-buru
ia melontarkan pertanyaan yang sama sekali tidak penting.
“Kok bisa?”
“Ya bisa lah Mas, emang bukan rejekinya kali.”
“Ya udah sekarang rejekinya kan udah dobel-dobel.”
“hu um… Mas kapan nikah?”
Sungguh gadis ini masih saja punya segudang pertanyaan yang
mampu membuat sedikit tercekat. Ardan buru-buru menghapus gambaran wajah usil
Rea dan menggantinya dengan wajah kekasihnya.
“InsyaAllah secepatnya. Kamu?”
“eeeeeeeeeem…. Semoga segera ada yang nglamar deh.”
“Kalau nggak segera dilamar ya minta dilamar donk.”
“Ya udah doakan
makanya biar segera ada.”
“Jangan doa aja tapi usaha juga Dik.”
“Itu bingungnya nggak tahu gimana caranya usaha…hehehe”
“Udah ada yang disuka?”
“belum.”
“iya kah?”
“Iya… Kalau udah emang kenapa?”
“Ya dideketin.”
“Kalau orangnya jauh?”
“Ya dideketin hatinya.”
“Oooo gitu…” Keduanya tertawa renyah.
“Lanjutin gih kerjaannya…Hepi bornday Mas, semoga ke
depannya jauh lebih baik, baik, baik, dan baik lagi.”
“Amin.”
Ardan terdiam memandangi nomor itu. Entah akan dibuangnya
atau disimpan dalam ponselnya. Dia tak menyangsikan bahwa Rea ternyata setegar
itu dan masih mampu berkata dengan tidak canggung padanya. Beberapa kali ia
hanya memberikan harapan palsu pada gadis itu tetapi ia masih bisa tersenyum
dan bahkan tertawa.
–Sungguh betapa aku kekanak-kanakan ketika mengacuhkannya
ketika ingin melupakan dia. Terima kasih telah menggunakan alasan ulang tahunku
untuk menyadarkanku–