Rabu, 27 November 2013

TEMBAKAU IBU CANTIK


 TEMBAKAU IBU CANTIK
>>>Putri Raflessia<<<



Aku berada di bangku kantorku. Di hadapanku berjejer buku-buku pembukuan yang terbuka. Dua meter di depan mejaku ada tiga wanita. Yang memakai polkadot dan jilbab kuning adalah atasaku tepatnya direktur di sini. Dua lagi adalah temannya, sebut saja ibu cantik. Ibu cantik yang pertama berbaju abu-abu dengan jilbab parisnya dan ibu cantik yang kedua berbatik hijau dengan jilbab yang serasi dengan warna batiknya.

Jika kau melihat penampilannya, baju bagus, tas branded, wajah dan tubuh yang terawatt, kau akan jatuh pada kesimpulan orang kaya “uang”. Dan jika kau mendengar dan menyaksikan pembicaraan dan gaya bicaranya, seminar, panitia pelatihan, kegiatan organisasi, bla…bla…bla… kau akan jatuh pada kesimpulan orang penting “dalam organisasi mereka”.

Ibu cantik kedua menghampiriku setelah menyeruput kopi yang sebelumnya dihidangkan di hadapannya. Dia menyodorkan secarik kertas berisikan hal-hal yang dibutuhkan untuk acara seminar. Aku mencium bau rokok dari hembusan nafasnya dan mulutnya ketika berbicara denganku. Pikiranku segera saja ku buang jauh meski hatiku sempat bertanya “ Apa Ibu cantik ini merokok?” Lagi kutimpali kata hatiku dengan jawaban “Ah… mungkin aroma kopi yang barusan diteguknya.”

Aku mulai membelakangi meja penuh buku pembukuan setelah ibu cantik kedua itu pergi meninggalkan kertas ditanganku. Aku menghadap computer yang tadinya aku punggungi. Mengetik sesuai yang tertera dalam secarik kertas lalu untuk kemudian bunyi printer berderit mencetak ketikanku pada selembar kertas. Hanya selembar memang tapi aku mengangguk mantap lalu berjalan menuju meja ketiga wanita itu menyodorkan kertas. 

“Oke Mbak, terima kasih” Direktur dengan senyumnya yang selalu saja renyah dan logatnya yang khas aku beri anggukan tanda iya.

Ibu cantik pertama menyuruhku untuk membuka pintu setelah sebelumnya mengatakan pada direktur. “Kalau kamu mau mengusir aku, tidak apa-apa.” Dan mendapat jawaban “Nggak akan aku usir, kenapa sih?”

Aku membuka pintu dan kembali ke bangkuku. Kedua ibu cantik mulai mengeluarkan rokoknya dan menyulutkan api lalu menyedotnya dengan tanpa dosa. Memang mereka tidak berdosa karena rokok tidak haram. Hanya saja mungkin aku terlalu kaget sampai menggelengkan kepala. Oke mungkin saja bisa dianggap berdosa juga karena telah meracuni tiga orang perokok pasif yang ada di ruangan ber-AC itu.

Selasa, 19 November 2013

RINDU milik ARDAN


 RINDU milik ARDAN
>>>Putri Raflessia<<<

Ardan bolak-balik melihat ponselnya. Tidak juga berdering. Beberapa waktu lalu ia berjingkat dari depan Televisi menuju kamarnya ketika mendengar ponselnya berdering. Ardan berhasil meraih ponselnya dalam hitungan detik dan menhela nafas kecewa ketika melihat nama yang tertera di ponselnya bukan yang dia inginkan. Hampir lima hari ini dia selalu saja bersikap seperti itu, menunggu pesan singkat atau telepon dari Rea. Dan malam ini genap satu Minggu Rea tidak menghubunginya sama sekali. Biasanya pesan dari Rea tidak pernah absen nyangkut di inbox ponselnya dan biasanya dengan sangat mudah dia bisa mendengarkan suara Rea cuap-cuap membuat berisik ponselnya.

Ardan belum menyadari perasaannya. Setiap hari dia mengucapkan kalimat Tumben Rea betah banget nggak hubungin aku. Dia tidak mau mengakui bahwa ada rasa rindu di dalam hatinya. Meskipun lima hari itu dia berkali-kali memegang ponselnya dan berniat untuk menghubungi Rea terlebih dahulu untuk kemudian membanting ponselnya ke kasur dan mengacak-acak rambutnya. Sungguh Ardan belum menyadari perasaan itu.

Ardan meletakkan ponselnya di samping kepalanya. Ardan terdiam sejenak. Tubuhnya yang merebah di atas kasur dengan mata yang menatap atap. Dia mencari jawaban mengapa seminggu ini Rea tidak menghubunginya. Bahkan ponselnya telah berdering beberapa kali dan dia tidak menyadarinya.

Matanya membelalak membaca nama yang tertera di layar ponselnya ketika dia menyadari ponselnya berdering lagi. 

“Tumben…” Kata itu yang pertama kali diolah otaknya setelah mengucapkan salam. Padahal bukan itu yang ingin dia katakan.

“Apa?”

“Tumben nelfon?” Ardan masih melanjutkan kebodohannya dengan pertanyaan yang tidak penting.

“Bukankah aku sering nelfon kamu? Kalau kamu yang tiba-tiba nelfon aku malahan yang tumben.”

Ardan tersenyum. Padahal beberapa kali dia uring-uringan gara-gara Rea tidak menghubunginya dan dia tidak berani menghubungi Rea terlebih dahulu.

“Kemarin-kemarin sibuk kah?”

“Kenapa ngira saya sibuk?”

“Sekarang ‘kan kamu sudah kerja, kali aja sibuk.” Jelas sekali bukan ini jawaban yang sebenarnya. Ardan mengerutkan keningnya ketika menjawab pertanyaan Rea dengan jawaban ini. 

“Yakin jawabannya itu?” Rea mendesak jawaban yang sebenarnya.

“Emang maunya gimana?” sedikit gelagapan tetapi Ardan selalu tau bagaimana cara mengatasinya.

“Bukan maunya bagaimana, tetapi sebenarnya bagaimana.”

Yaaah…pastinya kau sudah tau kalau kau tidak menghubungiku seminggu ini dan kukira kau terlalu sibuk. Kalimat ini nyangkut di hati Ardan dan tidak mau keluar sama sekali. Ardan tersenyum mendengarkan suara Rea. Suara yang diam-diam mampu mengusiknya. Suara yang tanpa ia sadari membuatnya rindu.

RINDU milik REA


 RINDU milik REA
>>>Putri Raflessia<<<

Sebenarnya Rea telah membulatkan tekad untuk tidak menghubungi Ardan sampai tahun baru tiba. Dan itu berarti dia harus menahan rindunya selama satu bulan setengah untuk tidak mendengar suara lelaki itu. Lagi-lagi memang hanyalah sebuah tekad yang tidak dibarengi dengan kekuatan yang teguh. Jangankan satu bulan, satu minggu saja tekadnya sudah rontok. 

Rea mengangkat ponselnya dan menekan keypad itu, mencari sebuah nama “Ardan Jelek” yang jelas terpampang di urutan paling atas di kontaknya. Senyumnya melebar ketika suara di seberang sana menjawab salamnya. Masih saja jantungnya belum bisa mengatur debaran yang begitu cepat padahal mereka tidak sedang bertatap.

“Tumben?” Ardan meneruskan jawaban salamnya dengan sebuah pertanyaan.
“Apa?”

“Tumben nelfon?”

“Bukankah aku sering nelfon kamu? Kalau kamu yang tiba-tiba nelfon aku malahan yang tumben.”
“Kemarin-kemarin sibuk kah?”

Otak Rea berfikir cepat. Memang selama seminggu penuh dia sama sekali nggak menghubungi Ardan bahkan SMS pun tidak. Padahal biasanya tiap hari SMS Rea nyangkut di inbox Ardan. Rea tersenyum simpul.

“Kenapa ngira saya sibuk?” Rea mengerutkan kening. Sebenarnya dengan sangat jelas ia tahu jawabannya tetapi dia ingin tahu jawaban. Dan jelas jawaban Ardan tidak akan sama seperti yang ada di pikiran Rea. Rea sudah menduga dan sudah sangat hafal dengan lelaki itu.

“Sekarang ‘kan kamu sudah kerja, kali aja sibuk.”

Rea tersenyum “Yakin jawabannya itu?”

“Emang maunya gimana?”

“Bukan maunya bagaimana, tetapi sebenarnya bagaimana.”

“Sudah saya jawab gitu lo.”

“Oke!”

 Jawaban spontan ‘tak sebenarnya yang selalu saja dilontarkan Ardan dengan nada tenang selalu seja membuat Rea merindukannya. Rea terlalu menikmati hubungan jarak jauh mereka yang hanya terhubung sinyal. Rea terdiam beberapa saat. 


“Kenapa diam? Biasanya selalu ada saja yang dibicarakan?”

“Pengen denger kamu ngomong aja.”

Rea benar-benar merindukan suara di seberang sana. Ia hanya menempelkan ponselnya di telinga dan menanti kalimat berikutnya yang akan disambungkan oleh sinyal operator.