RINDU milik ARDAN
>>>Putri Raflessia<<<
Ardan bolak-balik melihat ponselnya. Tidak juga berdering.
Beberapa waktu lalu ia berjingkat dari depan Televisi menuju kamarnya ketika
mendengar ponselnya berdering. Ardan berhasil meraih ponselnya dalam hitungan
detik dan menhela nafas kecewa ketika melihat nama yang tertera di ponselnya
bukan yang dia inginkan. Hampir lima hari ini dia selalu saja bersikap seperti
itu, menunggu pesan singkat atau telepon dari Rea. Dan malam ini genap satu
Minggu Rea tidak menghubunginya sama sekali. Biasanya pesan dari Rea tidak
pernah absen nyangkut di inbox ponselnya dan biasanya dengan sangat mudah dia
bisa mendengarkan suara Rea cuap-cuap membuat berisik ponselnya.
Ardan belum menyadari perasaannya. Setiap hari dia
mengucapkan kalimat Tumben Rea betah
banget nggak hubungin aku. Dia tidak mau mengakui bahwa ada rasa rindu di
dalam hatinya. Meskipun lima hari itu dia berkali-kali memegang ponselnya dan
berniat untuk menghubungi Rea terlebih dahulu untuk kemudian membanting
ponselnya ke kasur dan mengacak-acak rambutnya. Sungguh Ardan belum menyadari perasaan
itu.
Ardan meletakkan ponselnya di samping kepalanya. Ardan
terdiam sejenak. Tubuhnya yang merebah di atas kasur dengan mata yang menatap
atap. Dia mencari jawaban mengapa seminggu ini Rea tidak menghubunginya. Bahkan
ponselnya telah berdering beberapa kali dan dia tidak menyadarinya.
Matanya membelalak membaca nama yang tertera di layar
ponselnya ketika dia menyadari ponselnya berdering lagi.
“Tumben…” Kata itu yang pertama kali diolah otaknya setelah
mengucapkan salam. Padahal bukan itu yang ingin dia katakan.
“Apa?”
“Tumben nelfon?” Ardan masih melanjutkan kebodohannya dengan
pertanyaan yang tidak penting.
“Bukankah aku sering nelfon kamu? Kalau kamu yang tiba-tiba
nelfon aku malahan yang tumben.”
Ardan tersenyum. Padahal beberapa kali dia uring-uringan
gara-gara Rea tidak menghubunginya dan dia tidak berani menghubungi Rea
terlebih dahulu.
“Kemarin-kemarin sibuk kah?”
“Kenapa ngira saya sibuk?”
“Sekarang ‘kan kamu sudah kerja, kali aja sibuk.” Jelas
sekali bukan ini jawaban yang sebenarnya. Ardan mengerutkan keningnya ketika
menjawab pertanyaan Rea dengan jawaban ini.
“Yakin jawabannya itu?” Rea mendesak jawaban yang sebenarnya.
“Emang maunya gimana?” sedikit gelagapan tetapi Ardan selalu
tau bagaimana cara mengatasinya.
“Bukan maunya bagaimana, tetapi sebenarnya bagaimana.”
Yaaah…pastinya kau
sudah tau kalau kau tidak menghubungiku seminggu ini dan kukira kau terlalu
sibuk. Kalimat ini nyangkut di hati Ardan dan tidak mau keluar sama sekali.
Ardan tersenyum mendengarkan suara Rea. Suara yang diam-diam mampu mengusiknya.
Suara yang tanpa ia sadari membuatnya rindu.
kadang rasa rindu dan cinta itu tidak bisa di ungkapkan dengan kata2 romantis ,
BalasHapusdengan kata2 yg sedit aneh itu yg mungkin lebih mudah untuk diungkapkan....
tetapi tidak semua orang mengerti hal-hal yg tidak diungkapkan
Hapus