Minggu, 23 Februari 2014

PADA SUATU MIMPI



PADA SUATU MIMPI

Pada Suatu Malam…
Gemerisik daun yang bergesekan dengan gerimis masih ia dengar. Lantas Rea matikan lampu supaya bunyi itu menemani lelapnya nanti. Iseng Rea mengucap “Selamat malam Ardan, Selamat Tidur” hanya pada gumaman.Lalu lelap dan dibuai mimpi.

Pagi selalu saja menyisakan tanya akan apa yang Rea mimpikan semalam. Beberapa pagi yang lalu Rea jelas tak pernah memimpikan Ardan segamblang semalam.

"Apa hanya karena aku bergumam mengucap salam kepadanya sebelum tidur lantas Tuhan menyisipkannya dalam mimpiku?"

"Atau mungkin aku terlalu merindukannya sehingga gamblang sekali setiap cerita di mimpi itu terekam otakku.
Seorang Ardan yang tak mau menerima telefon lalu mengangsurkannya padaku agar menjawab ponselnya dan lantas dia tertidur di pangkuanku. Tanganku kemudian ia letakkan di wajahnya ia arahkan ke dahi, pipi, lalu dagunya. Ia tersenyum padaku, senyum yang telah lama tak kulihat tapi aku mengernyitkan kening. Wajahnya panas, apakah dia sakit?"

Jika itu sekadar mimpi mengapa sebegitu gamblang? Lagi Rea hanya mampu berdoa semoga Ardan tidak sedang sakit.

Kamis, 20 Februari 2014

TERPAKSA ATAU DIPAKSA



TERPAKSA ATAU DIPAKSA
>>>Putri Raflessia<<<

Tangannya gemetar memegang pisau yang berlumuran darah itu. Keringatnya pun tak henti-hentinya merembes ke permukaan kulit ayunya. Satu meter dari sudut ruangan tempatnya menangis menggigil, seorang laki-laki gendut setengah baya tergeletak tak berdaya menanti ajal. 

Ketika polisi datang Intan masih saja menggigil di sudut ruangan berukuran 2X3 meter itu dan laki-laki gendut itu telah mati. Tidak ada orang lain di sana kecuali dua mic, salon pengeras suara musik, satu televisi layar datar untuk menampilkan lagu, sofa abu-abu, dan satu meja di depan sofa dengan asbak yang dipenuhi kulit kacang. Polisi mengambil pisau di tangan Intan dan memasukkannya ke kantong plastik, lalu menyelimuti tubuh Intan yang setengah telanjang dengan kelambu dan memborgol tangannya untuk kemudian Intan dibawa ke kantor polisi.

*****

“Aku tidak bersalah Pak…sungguh ini bukan salahku.” Bibir Intan gemetar ketika menjawab pertanyaan dari Polisi.

“Pisau itu ada di tanganmu, tidak ada orang lain di sana, bagaimana bisa kau bilang kau bukanlah pelakunya?”

“A…Aku…” 

“Ceritakan Kejadiannya, kenapa kau membunuhnya?”

“Di..dia…dia yang salah, bukan aku pembunuhnya Pak.”

Satu prinsip yang selalu Intan pegang ketika dia memutuskan mencari uang dengan menemani laki-laki yaitu dia tidak akan menyerahkan keperawanannya

“Kau mahasiswa kenapa kelakuanmu seperti ini? Menjadi pembunuh dan menjadi wanita malam.”

Intan tersenyum getir “Sudah kubilang bahwa aku bukan pembunuhnya pak! Dan menjadi wanita malam, apa peduli bapak?”

“Kalau bukan kamu lantas siapa? Kau daritadi hanya bilang tidak membunuhnya. Dasar memang orang seperti kau ini…”

“Apa? Jalang? Nakal? Teruskan perkataan bapak! Laki-laki gendut tadi apakah teman bapak?”

“Bukan”

“Dia Polisi! Jika dia seperti itu, apa sangat hina jika mahasiswa seperti aku?”

“….”Polisi itu masih diam menunggu kalimat berikutnya yang diucapkan oleh Intan.

“Aku ingin tetap perawan meski seperti ini”

“HAHAHAHHAAHAHAHAHAH…………”Polisi itu terbahak-bahak.

“Apa?”

“Dan kini kamu akan bilang kalau kamu masih perawan?”

“Hahahahahahahaahaha……….memang tak banyak orang percaya kalau seseorang yang bekerja seperti aku masih perawan, aku tidak kaget karena itu adalah label permanen bagi orang seperti kami. Begitu pula polisi, guru, menteri mereka juga punya label permanen BAIK. Bukankah begitu bapak?”

“Cepatlah cerita! Kalau kau memang bukan pembunuhnya cepat cerita! Aku tidak mau dengar omong kosongmu itu!”

“Dia membunuh dirinya sendiri!”

“Jangan membual atau urusan akan semakin panjang.”

“Aku berkata jujur Bapak!”

“….”Polisi itu masih diam menunggu kalimat berikutnya yang diucapkan oleh Intan.

“Aku sudah bilang padanya ketika aku akan menemaninya, bahkan sebelum hari ini, karena aku telah mengenalnya satu bulan yang lalu. Aku bilang bahwa dia boleh saja menyentuhku, menyentuh kakiku, tanganku, mencium wajah atau bibirku, memegang payudaraku, paha atau apapunlah tapi satu hal bukan itu.”

“…”

“Dan malam ini, dia sangat bodoh! Dia meminta itu, dia memaksaku, dia akan memperkosaku”

“Perkosa?”Polisi itu meringis geli.

“Oke! Memang kata perkosa hanya untuk wanita baik-baik yang dipaksa tapi aku bukan orang baik-baik itu”

“Cepat teruskan ceritamu!”

“Aku mengeluarkan pisau itu dari dalam tasku, pisau yang memang selalu aku bawa untuk menjaga keperawananku! Benar aku tidak bermaksud untuk membunuhnya. Dia berusaha memelukku ketika pisau itu masih ditanganku dan darah segar mengalir dari tubuhnya.”

“Jadi kau yang membunuhnya, itu sudah jelas.”

“Selalu, selalu saja orang melihat hasil akhir tidak pernah melihat proses. Dia yang bersalah, bukan aku Bapak! Pisau itu aku yang pegang, tapi dia yang menerjang karena ingin menyetubuhiku, dia mati karena dirinya dan bukan aku pembunuhnya Bapak!”

“Kau! Pembunuh, di sini kau adalah Pembunuh!”

“Aku bukan pembunuh, aku bukan pembunuh! Pisau itu milikku tapi aku bukanlah pembunuh!” Intan meraih pistol yang tergeletak di meja dan mengarahkannya kepada polisi itu.

“Aku bukan pembunuh Pak! Tapi jika Bapak ingin aku menjadi pembunuh maka Bapak adalah orang pertama yang akan saya bunuh.”

Dalam keheningan malam itu terdengar bunyi pistol yang ditembakkan Intan kepada polisi Darso. Intan dimasukkan ke dalam sel penjara karena telah membunuh Polisi Darso dan tuduhan membunuh laki-laki gendut di tempat karaoke.

Rabu, 19 Februari 2014

CERITA 11.1.14

CERITA 11.1.14


Melihat seorang ibu cantik dengan senyuman ibu yang pahit,dingin, dan sama sekali tak menghangatkan. Rasa letih, malu, dongkol, ataupun kesal tergambar sekali pada rautnya. Tetapi ia toh masih sangat mencintai putrinya.

Saya baru saja memasuki ruang obat ketika mendengar bahwa ibu itu tadinya menangis. Mata teman saya menunjuk pada dua orang bocah (kira-kira masih SMP) yang duduk di sofa. Bocah laki-laki dan perempuan. Gadis itu sedang hamil, ya anak ibu itu sedang hamil. Kemungkinan besar bocah laki-laki di sampingnya adalah pacar yang menghamilinya.

Lagi, miris. Ketika saya dihadapkan pada kenyataan yang ada.Tiba-tiba saya memikirkan kemarahan ayah gadis itu, isak tangis seorang ibu yang kini mengantarkannya. Meski bedak dan gincu ia poleskan di wajahnya toh ibu itu masih sangat terlihat khawatir dan pucat.

Ibu itu menebus obat anaknya tanpa bicara panjang lebar. Aku dengar suaranya bergetar, isaknya masih sangat terasa pada suaranya.

Lagi, kudengar sudah 21 minggu umur kehamilannya.

Jumat, 14 Februari 2014

SEBUAH DOA SUBUH

SEBUAH DOA SUBUH

Pada suatu Pagi...
Aku duduk pada satu titik di sebuah lapangan membiarkan peluhku menguap. Mataku menyapu, memperlihatkan beberapa orang yang sibuk berlari, bermain, senam, dan atau hanya sekadar berbincang. Lantas lima meter di depanku mataku menangkap sosok dia.

Dua jam yang lalu saat Subuh. Karena doa tak mungkin hanyalah sebuah keisengan. Kau kusebut dalam doa Subuh. Kemudian doa itu akankah terkabul?

Dua jam setelah Subuh aku dapati kamu tepat melintas di hadapanku. Dengan senyum yang selalu saja aku agungkan dan petikan jarimu membuatku tersadar bahwa kau nyata ada di hadapanku.

Minggu, 09 Februari 2014

ARDAN JAHAT

ARDAN JAHAT
>>>Putri Raflessia<<<

Ardan benar-benar tidak mengerti dengan dirinya. Dia yakin mulai menyukai Rea tetapi kini dia merasa bersalah karena pernah mengucap kata sayang pada Rea. Dia merasa Rea terlalu lugu untuk menerima kata itu. Ardan sama sekali tidak ingin membuat Rea berharap padanya. Sekadar perasaan suka yang ada pada hatinya tidak akan secepatnya berubah menjadi cinta dan perasaan suka itu belum membuatnya membuatnya yakin kalau Rea pilihan terakhirnya. Dia benar-benar merasa bersalah pada gadis itu. Dan kini Ardan salah tingkah jika Rea yang keras kepala itu menghubunginya. 

Beberapa waktu yang lalu pula Ardan dibuat kalang-kabut oleh orang tuanya yang mencarikannya jodoh. Seseorang yang agamis dan tidak neko-neko menurut orang tuanya. Ardan kembali saja dihinggapi rasa bersalah yang bertubi-tubi pada Rea. Benar seharusnya kata sayang itu tidak pernah ia ucapkan walaupun hanya sebatas bercanda.

Malam itu beberapa kali ponselnya berdering dan menunjukkan nama Rea. Ardan menelan ludah berkali-kali setelah merejectnya berkali-kali pula. Tapi ponsel itu tetap saja berdering dan akan terus berdering untuk 1000 kali jika belum diangkat pemiliknya. Ardan hafal betul dengan sikap Rea yang begitu keras kepala. Tetapi toh dia harus benar-benar mengakhiri harapan Rea sampai di sini. 

“Apa?” Suara datar yang ia ciptakan tidak lain dan tidak bukan adalah suara perasaan bersalah dalam hatinya.

 “Beberapa kali saya telefon kamu, kamu reject kah?”

“Ya saya reject.”

Ardan mengutuki dirinya karena berubah menjadi jahat. Ia pun tahu kali ini Rea pasti sedang mengutukinya. Pria plinplan yang benar-benar telah menghancurkan harapan Rea. 

 “O…ya udah kalau emang gitu saya tutup. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Sebenarnya Ardan tidak ingin mengakhiri kisah mereka selama ini dengan cara seperti ini. Tetapi ia tahu jika dia terlalu lembut dengan Rea maka itu akan lebih sangat menyakitinya. Jalan satu-satunya adalah mengubah dirinya sejahat mungkin agar Rea meninggalkannya.

REA BODOH

REA BODOH
>>>Putri Raflessia<<<

Rea masih saja keras kepala. Otaknya selalu saja memikirkan Ardan meskipun beberapa kali Ardan mulai terdengar sengak kala menjawab semua celotehnya. Ardan memang mulai aneh sejak terakhir kali dia bilang sayang pada Rea. Sejak Ardan bilang kalau dia melarang Rea pacaran karena khawatir. Sejak Ardan menyebutkan dia mengkhawatirkan Rea hanya sebagai saudara dan lalu melanjutkan kata-katanya.

“Jangan nangis ya!”

Rea tersenyum memicing sudut bibir kanannya ia naikkan sehingga jelas sekali kau itu senyum tersinis yang Rea punya. “Enggak, kenapa harus nangis?” 

Rea benar-benar tidak mengetahui kenapa sikap Ardan cepat sekali berubah. Dari berucap sayang kemudian menjadi benar-benar datar.

Bahkan ketika Rea beberapa kali menghubunginya dan tidak diangkat Rea masih mencobanya berulang ulang hingga suara di sana menyahut.

“Apa?”

Suara Ardan tak sehangat dulu. Pertanyaan ‘Apa’ yang benar-benar datar dan mengesankan kejenuhan. Rea hafal betul kalau Ardan pasti membencinya saat ini, malas bicara saat ini. Tapi kekeraskepalaan Rea membuat akalnya tidak sehat.

“Beberapa kali saya telefon kamu, kamu reject kah?”

“Ya saya reject.”

Rea semakin mengerutkan kening. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dalam setiap kata-kata Ardan. Andai saja laki-laki itu ada di hadapannya pasti Rea sudah mencakarnya. Rea untuk kemudian menggigiti bibirnya menahan amarah.

“O…ya udah kalau emang gitu saya tutup. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Kali ini bulir bening itu mengecupi pipi Rea. Betapa bodoh rasanya tetap memupuk harapan untuk mendapatkan Ardan. Betapa bodoh ketika dia membela ketidakseriusan Ardan di depan mamanya. Dan bahkan ia merasa bodoh berkali-kali ketika selalu keras kepala mencintai pribadi beku itu.