REA BODOH
>>>Putri Raflessia<<<
Rea masih saja keras kepala. Otaknya selalu saja memikirkan
Ardan meskipun beberapa kali Ardan mulai terdengar sengak kala menjawab semua
celotehnya. Ardan memang mulai aneh sejak terakhir kali dia bilang sayang pada
Rea. Sejak Ardan bilang kalau dia melarang Rea pacaran karena khawatir. Sejak Ardan
menyebutkan dia mengkhawatirkan Rea hanya sebagai saudara dan lalu melanjutkan
kata-katanya.
“Jangan nangis ya!”
Rea tersenyum memicing sudut bibir kanannya ia naikkan
sehingga jelas sekali kau itu senyum tersinis yang Rea punya. “Enggak, kenapa
harus nangis?”
Rea benar-benar tidak mengetahui kenapa sikap Ardan cepat
sekali berubah. Dari berucap sayang kemudian menjadi benar-benar datar.
Bahkan ketika Rea beberapa kali menghubunginya dan tidak
diangkat Rea masih mencobanya berulang ulang hingga suara di sana menyahut.
“Apa?”
Suara Ardan tak sehangat dulu. Pertanyaan ‘Apa’ yang
benar-benar datar dan mengesankan kejenuhan. Rea hafal betul kalau Ardan pasti
membencinya saat ini, malas bicara saat ini. Tapi kekeraskepalaan Rea membuat
akalnya tidak sehat.
“Beberapa kali saya telefon kamu, kamu reject kah?”
“Ya saya reject.”
Rea semakin mengerutkan kening. Sama sekali tidak ada rasa
bersalah dalam setiap kata-kata Ardan. Andai saja laki-laki itu ada di
hadapannya pasti Rea sudah mencakarnya. Rea untuk kemudian menggigiti bibirnya
menahan amarah.
“O…ya udah kalau emang gitu saya tutup. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Kali ini bulir bening itu mengecupi pipi Rea. Betapa bodoh
rasanya tetap memupuk harapan untuk mendapatkan Ardan. Betapa bodoh ketika dia
membela ketidakseriusan Ardan di depan mamanya. Dan bahkan ia merasa bodoh
berkali-kali ketika selalu keras kepala mencintai pribadi beku itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar