Minggu, 09 Februari 2014

REA BODOH

REA BODOH
>>>Putri Raflessia<<<

Rea masih saja keras kepala. Otaknya selalu saja memikirkan Ardan meskipun beberapa kali Ardan mulai terdengar sengak kala menjawab semua celotehnya. Ardan memang mulai aneh sejak terakhir kali dia bilang sayang pada Rea. Sejak Ardan bilang kalau dia melarang Rea pacaran karena khawatir. Sejak Ardan menyebutkan dia mengkhawatirkan Rea hanya sebagai saudara dan lalu melanjutkan kata-katanya.

“Jangan nangis ya!”

Rea tersenyum memicing sudut bibir kanannya ia naikkan sehingga jelas sekali kau itu senyum tersinis yang Rea punya. “Enggak, kenapa harus nangis?” 

Rea benar-benar tidak mengetahui kenapa sikap Ardan cepat sekali berubah. Dari berucap sayang kemudian menjadi benar-benar datar.

Bahkan ketika Rea beberapa kali menghubunginya dan tidak diangkat Rea masih mencobanya berulang ulang hingga suara di sana menyahut.

“Apa?”

Suara Ardan tak sehangat dulu. Pertanyaan ‘Apa’ yang benar-benar datar dan mengesankan kejenuhan. Rea hafal betul kalau Ardan pasti membencinya saat ini, malas bicara saat ini. Tapi kekeraskepalaan Rea membuat akalnya tidak sehat.

“Beberapa kali saya telefon kamu, kamu reject kah?”

“Ya saya reject.”

Rea semakin mengerutkan kening. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dalam setiap kata-kata Ardan. Andai saja laki-laki itu ada di hadapannya pasti Rea sudah mencakarnya. Rea untuk kemudian menggigiti bibirnya menahan amarah.

“O…ya udah kalau emang gitu saya tutup. Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Kali ini bulir bening itu mengecupi pipi Rea. Betapa bodoh rasanya tetap memupuk harapan untuk mendapatkan Ardan. Betapa bodoh ketika dia membela ketidakseriusan Ardan di depan mamanya. Dan bahkan ia merasa bodoh berkali-kali ketika selalu keras kepala mencintai pribadi beku itu.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar