Kamis, 07 Desember 2017

BRIDE AND GROOM TO BE

Manusia yang nggak pernah pacaran sekalipun hingga bikin dunia geger mulai dari emaknya, kakaknya, temen-temennya, mbak kos, adik kos, temen kantor, ikan, kucing tetangga, ayam piaraan dan semua makhluk di bumi bahkan tauge juga ikut geger ini adalah pemilik blog ini. Manusia super supel, nemplok sana-nemplok sini kalo disuruh sosialisasi, yang punya lambe-lambe marketing ini selalu ngrecokin seluruh makhluk suruh nyariin jodoh. Dengan pemikiran ya kali ALLAH nitipin jodohnya lewat tangan orang lain. Jadi singkat cerita di antara kejaran keriput yang semakin mendekati dia berlari mengejar jodoh lewat doa.
Walau sempat berpikir kapan dia bakal pacaran?
Gimana bisa nikah tanpa pacaran?
Gimana dia ketemu jodohnya?
Dan gimana kalo keriput lebih cepat datang sebelum jodohnya?
Dan ALLAH menjawab doa setiap hamba-Nya

 Dipertemukan dengan lelaki bernama Hengky dengan cara yang cukup lucu dari omong punya omong antara emak gue dan ayah dia - yang juga tibatiba kenal gegara jadi langganan es batu di rumah- yang padahal masing-masing kagak pernah tau muka anak satu sama lain. Dari duo ortu itulah masing-masing nomor kami melayang hingga satu mesej nyangsang di ponsel gue 7 September 2017 "Maaf ini siapa ya?" dari dia. Lantas berlanjut ke pertemuan pertama di 8 September 2017 yang bisa dibilang sederhana banget nglesot di trotoar makanmakanan ala angkringan gak pake makanan ala barat yang Pizza, yang hotdog, yang burger, atau kentang goreng yang disebut french fries. Menunya cukup ceker setan yang bikin dower 15 cm. Mari digarisbawahi kita cuma ketemuan dan hanya sebatas teman baru.

Gak tau pasti kapan kita jadian yang jelas lebih dekat dan semakin dekat ketika sudah dikonfirmasi sudah tidak ada pacar dia alias dia udah berhenti ngurusin calon istri orang lain dengan status sebagai pacar.
Tidak ada LDR di antara dua makhluk ini. Gak ada yang namanya apel malam minggu. Gak ada yang namanya ketemu seminggu sekali. Gak ada istilah kirim mesej 3 kali sehari. Intinya dua makhluk ini ketemu setiap hari meskipun gak pernah keluar, alias cuma nongki-nongki di teras kos-an -Kediri- atau bakal nongki-nongki di ruang tamu rumah -Nganjuk-. Everyday is malam minggu.

Karena apel bertubitubi tak mengenal hari inilah emak gue langsung mo nanyain keseriusan dia setelah tanya kepada anak bontotnya -gue- "udah sreg ato belum?" dan gue terkena pepatah "Trisna jalaran saka glibet" pastinya gue jawab SREG ditanyai emak.

Dan jeeeeng.....jeng....jeeeeeeeeeng....
Jawabannya iya niat SERIUS dengan anak gadisnya emak yang paling bontot.

Setelah dapat acc dari emak tercinta baru berani keluar bareng jarak jauh ni dua makhluk. Dan Pantai Sanggar adalah pantai pertama yang menjadi tujuan tempat selfie dua makhluk pecinta kamera yang narsisnya sama, yang cerewetnya sama meskipun gak kembar siam.

Sekadar cerita itu pantai bagusnya Masya Allah dan kalau pengen ke sana harus siap mental, siap hati, siap pikiran, siap fokus karena jalan menuju pantai adalah jalan setapak yang masih tanah dan bakalan super becek tak bisa dilewati kalau diguyur hujan. -info Pantai Sanggar lebih lanjut hubungi google-

Singkat cerita lepas dari pantai dan minggu minggu berikutnya perkenalan ke sang nenek -palang pintu pertama yang harus dilalui- bilang YA gue lolos seleksi administrasi tahap pertama. Lanjuuut ke rumah orang tuanya, kesan pertama semua makanan dikeluarkan seakan dipaksa gendut dan dibisiki "Gak apa-apa gendut". Gue udah siapin hati kalo-kalo ada pertanyaan sulit ketika tes calon mantu, tetapi semua welcome dan berjalan super lancar, super ceplas-ceplos, dan super jadi diri gue apa adanya.

Setelah cari tanggal baik -menurut ilmu-ilmu kejawen- pada 10 Oktober gue dibisiki kalau November gue bakal diminta alias bakalan dilamar. Setelah rempong dari pesen cincin, pesen kebaya, pesen makanan, dan lain-lain sampailah pada tanggal 12 November 2017 kita TUNANGAN. Dua bulan dari perkenalan cincin kembar di jari jadi saksi bahwa gak perlu lama-lama demi mendapatkan keseriusan. Cuma mau ngingetin yang jelas harus ada campur tangan Allah hingga bisa menyatukan kata sepakat serius pada dua makhluk ini.

Infonya gue bukan lagi JOMBLO. Gue udah punya pacar pertama dan InsyaAllah jadi yang terakhir. Terima kasih telah menjagaku sampai berikan satu yang terbaik Allah.

Bride n Groom to be in 2018. Semoga semua lancar hingga akad dibacakan dan seterusnya. Amin.



Jumat, 14 Juli 2017

BERUBAH BAIK ITU BAIK

Setiap yang menuju baik, berubah menjadi lebih baik, dan menjadi baik adalah Baik.

Karena setiap yang baik musti kamu perjuangin hingga kamu mendapatkannya apalagi kalau tentang dirimu sendiri. Check it out this pict (kiri) di tahun 2015 dan yang (kanan) di tahun 2016.
Banyak orang ngebicarain tentang kamu, ngomentarin kamu, mencibir, menghina, mengolok, atau mungkin pura-pura baik. Yaaaa....itu mah emang udah tabiat orang kalau ada sesuatu yang nggak sreg pasti dikomentarin.

Namanya juga hidup "KITA YANG JALANIN ORANG LAIN YANG KOMENTARIN"

Tapi setiap hal pasti ada segi positifnya. Setiap komentar juga bisa diambil sisi positifnya. Gimana cara kamu nyikapi saja.  Jika mereka ngomentarinnya salah udah nggak usah dianggep, jika mereka ngomentarinnya benar ambil pelajaran dari mulut mulut manis manja mereka. Karena ketika kamu nantinya berjuang menuju lebih baik dan lantas menjadi baik karena celotehan mereka toh ngaruh baik ke hidup kamu.

See yang difoto adalah saya. Kenapa harus berubah?
1. Karena saya harus sehat
2. Karena saya harus sehat
3. Karena saya harus sehat

jadi alasannya bukan kamu, kamu, atau kamu. setiap perjuangan yang saya lakukan akan kembali ke saya. Saya menyebut sebuah perjuangan karena saya memang harus berjuang memangkas obesitas yang sedari kecil sudah hobi nemplok di badan saya. Kok tiba-tiba sadar? yaaap....
1. Karena saya mulai sesak napas
2. Karena saya mulai merasa cepet capek
3. Karena kaki saya sudah mulai lelah menopang badan segedhe itu.
4. Karena komentar-komentar kalian yang juga berjasa hingga mengubah saya.

Ketika perjuangan sudah kamu lakukan dan berhasil, kamu yang bakal menikmati hasilnya. orang lain yang bakal balik ngomentarin lagi meskipun nggak ngaruh bagi hidup mereka.

Jadi kapan kamu berubah untuk dirimu sendiri?



Kamis, 25 Februari 2016

KETIKA JODOH DIPAKSA DATANG APAKAH IA SEBENARNYA JODOH?



Ketika jodoh dipaksa datang apakah ia sebenarnya jodoh?

Mungkin kau terlalu santai menghadapi hal pasti yang bernama jodoh. Jodoh memang pasti datang, tetapi tak seorang pun tahu pasti kapan jodohnya datang. 

Tanpa kita bilang mau, usia akan terus mengikuti kita. Seakan setiap harinya kau berandai jika saja hanya kau yang bertambah tua bukan orang tuamu. Alangkah bahagia mereka bisa menemanimu setiap waktu. Akan tetapi, itu hanya sebatas pengandaian yang tak pernah hadir dalam nyata.

Hidup itu indah. Berjuta orang bahkan menggumamkan setiap detiknya. Lantas kau tetap memilih sendiri untuk menikmati hidupmu. Bukan hal yang salah semestinya, tetapi kamu jelas terlalu egois.
Paling tidak ada dua manusia yang selalu ada dan selalu memikirkan nasibmu jika mereka tak ada kelak. Manusia itu yang paling tak rela jika nantinya kau sebatang kara. Menagihlah mereka kepadamu seorang calon pendamping hidupmu.

Mungkin kau telah memikirkannya. Mungkin kau telah berupaya mencari. Mungkin kau telah berupaya meraih. 

Upayamu sebatas yang kau inginkan.
Apakah pernah kau menerima seseorang yang disodorkan di hadapanmu? Apakah pernah kau membuka hati sepenuhnya atas orang yang tidak kau inginkan? JAWABANNYA TIDAK.

Padahal mungkin beberapanya adalah kebutuhanmu yang kau tolak demi meraih keinginanmu. Menurutmu kau tak pernah menutup hati. Setiap pesan kau jawab walau singkat. Tapi tak pernah bisa kau pungkiri kau membentengi hati dengan keinginanmu.

Lalu jika benteng itu roboh karena sebuah keterpaksaan kedatangan jodoh yang tergopoh-gopoh apakah ia sebenarnya jodoh? Ketika dua malaikat penjagamu mempercayakanmu pada sosok jodoh yang tergopoh-gopoh maka ia tetap sebenarnya jodoh. Tuhan yang memilihkanmu dua malaikat penjaga sebagai ayah dan ibu, lantas ketika mereka memilihkan malaikat penjaga untukmu nantinya maka ia sebenarnya jodoh.

Kediri, 25 Februari 2016

Selasa, 13 Oktober 2015

KUTUKAN GAGAL PIKNIK



KUTUKAN GAGAL PIKNIK
>>>Putri Raflessia<<<

http://katarayuan.com/wp-content/uploads/2014/11/gambar-wanita-jomlo-nangis-dan-sedih-banget.pngMulut Rea manyun lima sentimeter dari biasanya. Tepat di H-1 mama tiba-tiba mengcancel izin pikniknya ke Banyuwangi. mulutnya komatkamit seakan merapal mantra. Akan tetapi, kesaktian mamanya jauh lebih dahsyat untuk sekadar melawan mantra dari mulut Rea.
Gadis itu lagilagi harus mengamini sabda mamanya untuk tetap tinggal dan bekerja di HARPITNAS.
"Kutukan macam apa yang memaksaku untuk menggagalkan liburan yang bahkan sudah kugagas sejak empat bulan lalu?"
"Tentunya kutukan mamaku"
Rea bergumam dan menyahuti gumamannya sendiri.

KAKI KECIL

KAKI KECIL
-Putri Raflessia-
https://c2.staticflickr.com/4/3513/3467965369_a937e836b8_b.jpg

Kaki kecil itu menapaki jalanan hingga debunya berdebum. Di tangan kanannya menenteng rantang dan di tangan kirinya menenteng ceret berisi air . Walau mungil tapi dia kuat menenteng rantang yang penuh makanan itu. Sri beberapa jam lalu ia diteriaki neneknya supaya segera mengantarkan makan siang untuk ibu dan bapaknya di sawah. Segera setelah berganti baju Sri menuju rumah nenek yang ada di belakang rumahnya dan bergegas menenteng rantang menuju sawah.

Dengan dibalut peluh ia sudah menyusuri pematang sawah menuju gubuk peteduh yang selalu digunakan ibu dan bapaknya. Senyum ibunya menyeruak menghiasi wajahnya. 

“Makasih ya Nduk” Ibu Sri mengusap peluh yang menuruni kening putrinya. Setelah Sri meletakkan rantang itu di gubuk.

Mengirim makan siang memang menjadi tugas Sri sepulang sekolah. Anak SD dengan perawakan mungil itu selalu membuat trenyuh ibunya kalau datang mengantar makan siang dengan peluh membanjiri wajahnya.

“Ya Bu.” Sri melepas sandalnya dan menaiki gubuk untuk bergabung makan dengan Ibu dan Bapaknya.
“Kamu mampir kemana dulu Sri?” Kata Bapak sebelum memasukkan pulukan nasi ke dalam mulutnya.

Sri meringis sambil menggigit tempe. “Pulang telat Pak, tadi Sri diteriaki simbah gara-gara kelamaan ganti baju juga.”

“ Ada acara apa di sekolah Nduk?”

“Nggak ada Bu” Sri melirik ibunya yang mengerutkan kening. Sri tahu betul kalau sudah seperti itu ibu pasti masih menyimpan pertanyaan.

“Bu nanti jahitin Rok seragam Sri ya! Sobek abis buat manjat pohon mangga.”

“Wealah Nduk... kok ya ada-ada saja. Perempuan kok ya senangnya manjat pohon. Sudah berapa kali ibu jahit rok mu masih saja manjat-manjat pohon.”

“Aduh Pak sakit!” Satu tarikan panas mendarat di telinga Sri.

Bapak tidak akan pernah marah ketika sedang makan. Akan tetapi jeweran di telinganya akan berbuntut omelan ketika makan siang selesai. Buru-buru Sri menyelesaikan makannya. Melumat tempe dan mengunyah nasi secepat mungkin mendahului bapaknya agar dia bisa segera kabur. 

Sri segera menuang segelas air dari ceret lalu menghabiskannya dalam sekali teguk dan mengusap mulutnya. Sri melompat menuruni gubuk ketika bapaknya memasukkan suapan terakhir di piringnya.
“Marahnya nanti di rumah saja ya Pak. Sri mau main dulu ke sungai sama Siti.” 

Bapak Sri hampir tersedak melihat anaknya berlalu. Buru-buru ibu menuang air ke gelas dan menyodorkannya ke bapak.
“Anakmu Bu. Kayak anak laki-laki saja sukanya manjat pohon, kelahi, mandi di kali, balapan sepeda.”

“Itu anakmu juga Pak. Bocah yang tiap pulang kalau nggak roknya sobek, dengkul atau sikutnya berdarah, atau kita kadang yang kena omel tetangga kampung sebelah gara-gara mangganya hilang.”
*****
Musim mangga tahun lalu...
Senja menyemburkan jingga pada awan. Ibu sedang menyapu halaman rumah dengan sapu lidi yang sudah pendek aus dimakan tanah, sehingga ia harus sangat membungkuk ketika menyapu.
Mula-mula ibu melihat kaki yang berdiri di hadapannya kemudian perlahan bangkit dan menghadap tamu tersebut. Tamu dengan kumis tebal yang khas, panjang, dan keriting. Pak Mangun selalu saja datang dengan berkacak pinggang yang menunjukkan ia akan menyemburkan api kemarahan. Ibu yang sudah tahu maksud kedatangannya hanya menelan ludah lalu mengulum senyum. 

“Eeeeh...Pak Mangun darimana Pak?” Sekadar basa-basi. Kalimat ini yang selalu keluar dari mulut ibu ketika Pak Mangun datang. Meskipun setiap kali musim mangga Pak Mangun pasti akan datang dan marah-marah karena ulah Sri.

“Bu saya capek tiap musim mangga selalu saja ke sini karena ulah Sri. Sri dan teman-temannya manjatin pohon mangga saya ngambilin seenaknya. Kalau cuma satu atau dua nggak masalah ini ngambilnya keroyokan.”

“Maaf Pak Mangun. Saya cuma bisa bilang maaf Pak. Sekali lagi maaf. Saya dan suami saya sudah ratusan kali memarahi Sri, melarang manjat pohon, melarang nyuri mangga, dan yang jelas melarangnya untuk berbuat nakal. Tapi ya bagaimana lagi Pak, anak usia kelas 4 SD dilarang malah dikiranya disuruh.”

“Lha mbok ya minta baik-baik Bu. Ditunggu kalau sudah benar-benar matang.”

“Itu saya juga sudah kasih tahu Pak. Supaya minta baik-baik, supaya berbuat baik ke Pak Mangun.”

“Oh mungkin gara-gara itu Sri meninggalkan surat ini di samping lima buah mangga yang dia letakkan di teras” Pak Mangun menyodorkan selembar kertas dengan coretan khas anak kecil.

Ibu membacanya sambil tersenyum dan geleng-geleng.
Lima mangga ini untuk Pak Mangun. Bapak tidak usah manjat pohon Pak nanti jatuh. ‘kan Bapak sudah tua. Bapak tidak usah berterima kasih karena saya yang berterima kasih atas mangga gratisnya. Bapak baik, saya juga baik kan. Kata Ibu kita harus jadi orang baik. Selamat menikmati Pak!

“Kok malah senyum-senyum sampean ini Bu.” Pak Mangun menepok jidatnya.

 “Sekali lagi maaf Pak. Nanti biar saya dan bapaknya yang marahi lagi supaya kapok.”

Ibu Sri membungkuk beberapa kali ketika mengucapkan maaf. Pak Mangun pergi sambil memilin kumisnya meninggalkan Ibu Sri.
*****
Sri berhasil menghindar dari kemarahan bapaknya. Setidaknya sampai nanti pulang. Kaki mungilnya kini menapaki bantaran sungai. Sambil bersiul dan sesekali melenggang kemudian menyapa beberapa orang yang dikenalnya di jalan.

“Mau kemana Sri?” Sapa Bu Sastro yang membawa rinjing di punggungnya. Jelas sekali ia baru pulang dari pasar.

“Ke sungai Bu mau main dengan Lastri, Siti, Ali, dan Didik.” Senyum sumringah ramah yang selalu ia sunggingkan kepada setiap orang. 

Sebenarnya jika mengenal Sri lebih dalam dia cenderung sebagai gadis kecil yang riang, ramah, murah senyum, dan rajin. Untuk ukuran nakal memang sudah lumrah anak sekecil itu mulai bermain sesuka hatinya. Kalau lelah pasti juga bakal berhenti.

“Sriiiii” Lastri dan Siti berteriak kuat ketika melihat Sri.

Sri kemudian mencemplungkan kakinya ke air untuk kemudian menghampiri Lastri dan Siti. 

“Ali dan Didik mana?” Sri mengerutkan kening. Biasanya kalau main ke sungai dua bocah lelaki itu paling cepet. Tapi sekarang malah belum nampak batang ekornya.

“Ali dapat sepeda baru dari Bapaknya. Didik ke rumah Ali buat lihat sepeda.” Siti menerangkan sambil memainkan rambutnya yang dikuncir ala buntut kuda.

“Waaaaah.... kalau begitu ayo mainan sepeda saja. Balapan sama sepeda barunya Ali.” Usul Sri.

“Ide bagus.” Lastri dan Siti mengamini ide Sri.

Sri bergegas lari menuju rumahnya berharap Bapak Ibunya belum sampai. Benar saja setelah berhasil mengeluarkan sepeda dan mengayuhnya. Bapak meneriaki Sri.

“Kemana lagi kamu Sri?”

“Main sebentar Pak ke rumah Ali” Jawaban Sri tak kalah keras dengan teriakan Bapaknya. Ia mengayuh sepedanya kuat-kuat agar tidak dikejar oleh Bapaknya.
*****
Sri, Lastri, Siti, Ali, dan Didik mengayuh sepedanya kuat-kuat tidak ada yang mau kalah. Kelima bocah itu balapan sepeda dari rumah Ali menuju lapangan balai desa. Sengatan matahari tak pernah mereka hiraukan. Meskipun kulit mereka terpanggang menghitam dan rambutnya mulai memerah tersengat matahari di atas kepala mereka.

Ali datang lebih dulu diikuti Didik, Sri, Lastri dan yang terakhir Siti. Mereka memarkir sepedanya di samping pohon beringin samping joglo balai desa. Untuk kemudian terduduk menyelonjorkan kaki masing-masing di bawah pohon beringin.

“Wah sepeda baru memang keren. Kalah kita semua dibalapnya.” Didik bicara dengan napas sedikit terengah.

“Ah memang aku yang jago. Mau sepeda baru atau onthel lama aku pasti bisa mengalahkan kalian.”

“Alaaaah tapi kalau soal panjat memanjat ngambilin mangganya Pak Mangun tetep aku yang nomor satu.” Jawab Sri membanggakan diri.

“Lah emang dasar monyet kamu Sri. Pinter banget suruh manjat.” Cletuk Siti.

Kelima bocah itu terbahak-bahak lepas. Angin siang yang panas tak dirasakan mereka. Sri tertawa paling keras, tidak ada perasaan marah sekalipun dibilang monyet.
Matahari mulai condong ke barat. Kelima bocah itu bersiap pulang. Meskipun tak lagi balapan mereka tetap memacu sepedanya kuat-kuat. Andai pedal itu mampu berteriak pasti telah meronta dipacu sekuat itu.
*****
Sri memasuki pelataran rumahnya dengan sepeda yang melaju secepat kuda. Ia mengerem kuat-kuat. Teeeg...tuuuing... Rem sepeda Sri tiba-tiba putus sebelum sepeda berhenti. Ibu yang sedang menyapu teras melihat Sri yang kebingungan. Sepeda Sri tetap melaju walau tidak dipacu. Sepeda itu baru berhenti ketika Sri menabrakkannya ke pohon Jambu di pelataran rumahnya.

“Duuuuh Guuuustiiiii!” Teriakan Ibu dibarengi dengan melemparkan sapunya ke lantai. Ibu Sri berlari ke arah Sri sambil menaikkan dasternya agar cepat berlari. Ditolongnya anak semata wayangnya itu.

“Walaaaaah Nduk yang hati-hati,” Ibu memeriksa anaknya beberapa luka lecet di kening, lutut, sikut, dan betis kanannya. Siti meringis kesakitan dan memegangi keningnya. 

“Ayo Ibu gendong masuk.”

“Sri Kuat kok Bu!” Sri berdiri tertatih lalu berjalan terseok-seok menuju teras. Ibunya mendirikan sepeda dan berlari ke dalam rumah mengambil obat merah.

Bapak keluar masih lengkap dengan sarung dan kopyahnya selesai salat ashar. Menarik satu bangku untuk kemudian memandang anak perempuannya itu dengan wajah sedikit marah. Sri menunduk takut pada pandangan Bapak. Semenit kemudian Bapak tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak.
Ibu keluar membawa obat merah, sebaskom air, dan kain untuk membersihkan luka Sri.
“Aduuuh Bu sakit.”

“Tahu sakit juga to Nduk? Ya itu yang didapat kalau main saja terus.” Bapak memulai ceramahnya.

“Dengerin itu bapakmu.” Ibu menekan luka Sri keras-keras.

“Aduuuuuuuuh.” 

“Dengar Sri! Kamu itu perempuan Nduk, sekalipun masih kelas 5 SD. Mbok ya disudahi nakalnya. Disudahi hobi manjat pohon, apalagi pohon tetangga, pohon mangganya Pak Mangun. Disudahi kebut-kebutan naik sepeda. Bapak anggap rem sepedamu itu ngambek gara-gara sering dicekik dan akhirnya kamu to yang jatuh.” Bapak mengambil napas.

“Masa setiap tahun Pak Mangun selalu ke sini ngomel-ngomel mangganya habis.” Sambung ibu di sela napas Bapak.

“Bapak sama Ibu sudah nggak marah sama kamu Nduk. Sekarang kalau kamu sudah kayak gini apa ya masih belum mengerti? Bapak sama Ibu pengen kamu jadi lebih baik. Anak ranking di sekolah ya harus baik to di masyarakat.”

“Ya Pak, Bu, maafin Sri. Besok-besok Sri nggak manjat pohon Pak Mangun Pak biar beliau tidak ke sini lagi.”

“Bagus” Ibu mengelus rambut anaknya. Bapak tersenyum mendengar jawaban Sri.

“Tapi kalau pohon jambu depan rumah boleh dipanjat kan?” Sri meringis menampakkan deretan giginya.

“Aduuuuuuuh Sriiiiii!” Bapak dan Ibu serentak teriak mendengar jawaban Sri.