KAKI KECIL
-Putri Raflessia-
Kaki kecil itu menapaki jalanan hingga
debunya berdebum. Di tangan kanannya menenteng rantang dan di tangan kirinya
menenteng ceret berisi air . Walau mungil tapi dia kuat menenteng rantang yang
penuh makanan itu. Sri beberapa jam lalu ia diteriaki neneknya supaya segera
mengantarkan makan siang untuk ibu dan bapaknya di sawah. Segera setelah
berganti baju Sri menuju rumah nenek yang ada di belakang rumahnya dan bergegas
menenteng rantang menuju sawah.
Dengan dibalut peluh ia sudah menyusuri
pematang sawah menuju gubuk peteduh yang selalu digunakan ibu dan bapaknya. Senyum
ibunya menyeruak menghiasi wajahnya.
“Makasih ya Nduk” Ibu Sri mengusap peluh yang
menuruni kening putrinya. Setelah Sri meletakkan rantang itu di gubuk.
Mengirim makan siang memang menjadi tugas Sri
sepulang sekolah. Anak SD dengan perawakan mungil itu selalu membuat trenyuh
ibunya kalau datang mengantar makan siang dengan peluh membanjiri wajahnya.
“Ya Bu.” Sri melepas sandalnya dan menaiki
gubuk untuk bergabung makan dengan Ibu dan Bapaknya.
“Kamu mampir kemana dulu Sri?” Kata Bapak
sebelum memasukkan pulukan nasi ke
dalam mulutnya.
Sri meringis sambil menggigit tempe. “Pulang
telat Pak, tadi Sri diteriaki simbah gara-gara kelamaan ganti baju juga.”
“ Ada acara apa di sekolah Nduk?”
“Nggak ada Bu” Sri melirik ibunya yang
mengerutkan kening. Sri tahu betul kalau sudah seperti itu ibu pasti masih
menyimpan pertanyaan.
“Bu nanti jahitin Rok seragam Sri ya! Sobek
abis buat manjat pohon mangga.”
“Wealah Nduk... kok ya ada-ada saja.
Perempuan kok ya senangnya manjat pohon. Sudah berapa kali ibu jahit rok mu
masih saja manjat-manjat pohon.”
“Aduh Pak sakit!” Satu tarikan panas mendarat
di telinga Sri.
Bapak tidak akan pernah marah ketika sedang
makan. Akan tetapi jeweran di
telinganya akan berbuntut omelan ketika makan siang selesai. Buru-buru Sri
menyelesaikan makannya. Melumat tempe dan mengunyah nasi secepat mungkin
mendahului bapaknya agar dia bisa segera kabur.
Sri segera menuang segelas air dari ceret lalu menghabiskannya dalam sekali
teguk dan mengusap mulutnya. Sri melompat menuruni gubuk ketika bapaknya
memasukkan suapan terakhir di piringnya.
“Marahnya nanti di rumah saja ya Pak. Sri mau
main dulu ke sungai sama Siti.”
Bapak Sri hampir tersedak melihat anaknya
berlalu. Buru-buru ibu menuang air ke gelas dan menyodorkannya ke bapak.
“Anakmu Bu. Kayak anak laki-laki saja sukanya
manjat pohon, kelahi, mandi di kali, balapan sepeda.”
“Itu anakmu juga Pak. Bocah yang tiap pulang
kalau nggak roknya sobek, dengkul atau sikutnya berdarah, atau kita kadang yang
kena omel tetangga kampung sebelah gara-gara mangganya hilang.”
*****
Musim mangga tahun lalu...
Senja menyemburkan jingga pada awan. Ibu
sedang menyapu halaman rumah dengan sapu lidi yang sudah pendek aus dimakan
tanah, sehingga ia harus sangat membungkuk ketika menyapu.
Mula-mula ibu melihat kaki yang berdiri di
hadapannya kemudian perlahan bangkit dan menghadap tamu tersebut. Tamu dengan
kumis tebal yang khas, panjang, dan keriting. Pak Mangun selalu saja datang
dengan berkacak pinggang yang menunjukkan ia akan menyemburkan api kemarahan.
Ibu yang sudah tahu maksud kedatangannya hanya menelan ludah lalu mengulum
senyum.
“Eeeeh...Pak Mangun darimana Pak?” Sekadar
basa-basi. Kalimat ini yang selalu keluar dari mulut ibu ketika Pak Mangun
datang. Meskipun setiap kali musim mangga Pak Mangun pasti akan datang dan
marah-marah karena ulah Sri.
“Bu saya capek tiap musim mangga selalu saja
ke sini karena ulah Sri. Sri dan teman-temannya manjatin pohon mangga saya ngambilin
seenaknya. Kalau cuma satu atau dua nggak masalah ini ngambilnya keroyokan.”
“Maaf Pak Mangun. Saya cuma bisa bilang maaf
Pak. Sekali lagi maaf. Saya dan suami saya sudah ratusan kali memarahi Sri,
melarang manjat pohon, melarang nyuri mangga, dan yang jelas melarangnya untuk
berbuat nakal. Tapi ya bagaimana lagi Pak, anak usia kelas 4 SD dilarang malah
dikiranya disuruh.”
“Lha mbok ya minta baik-baik Bu. Ditunggu
kalau sudah benar-benar matang.”
“Itu saya juga sudah kasih tahu Pak. Supaya
minta baik-baik, supaya berbuat baik ke Pak Mangun.”
“Oh mungkin gara-gara itu Sri meninggalkan
surat ini di samping lima buah mangga yang dia letakkan di teras” Pak Mangun
menyodorkan selembar kertas dengan coretan khas anak kecil.
Ibu membacanya sambil tersenyum dan
geleng-geleng.
Lima mangga
ini untuk Pak Mangun. Bapak tidak usah manjat pohon Pak nanti jatuh. ‘kan Bapak
sudah tua. Bapak tidak usah berterima kasih karena saya yang berterima kasih
atas mangga gratisnya. Bapak baik, saya juga baik kan. Kata Ibu kita harus jadi
orang baik. Selamat menikmati Pak!
“Kok malah senyum-senyum sampean ini Bu.” Pak
Mangun menepok jidatnya.
“Sekali
lagi maaf Pak. Nanti biar saya dan bapaknya yang marahi lagi supaya kapok.”
Ibu Sri membungkuk beberapa kali ketika
mengucapkan maaf. Pak Mangun pergi sambil memilin kumisnya meninggalkan Ibu
Sri.
*****
Sri berhasil menghindar dari kemarahan
bapaknya. Setidaknya sampai nanti pulang. Kaki mungilnya kini menapaki bantaran
sungai. Sambil bersiul dan sesekali melenggang kemudian menyapa beberapa orang
yang dikenalnya di jalan.
“Mau kemana Sri?” Sapa Bu Sastro yang membawa
rinjing di punggungnya. Jelas sekali
ia baru pulang dari pasar.
“Ke sungai Bu mau main dengan Lastri, Siti,
Ali, dan Didik.” Senyum sumringah ramah yang selalu ia sunggingkan kepada
setiap orang.
Sebenarnya jika mengenal Sri lebih dalam dia
cenderung sebagai gadis kecil yang riang, ramah, murah senyum, dan rajin. Untuk
ukuran nakal memang sudah lumrah anak
sekecil itu mulai bermain sesuka hatinya. Kalau lelah pasti juga bakal
berhenti.
“Sriiiii” Lastri dan Siti berteriak kuat
ketika melihat Sri.
Sri kemudian mencemplungkan kakinya ke air
untuk kemudian menghampiri Lastri dan Siti.
“Ali dan Didik mana?” Sri mengerutkan kening.
Biasanya kalau main ke sungai dua
bocah lelaki itu paling cepet. Tapi sekarang malah belum nampak batang ekornya.
“Ali dapat sepeda baru dari Bapaknya. Didik
ke rumah Ali buat lihat sepeda.” Siti menerangkan sambil memainkan rambutnya
yang dikuncir ala buntut kuda.
“Waaaaah.... kalau begitu ayo mainan sepeda
saja. Balapan sama sepeda barunya Ali.” Usul Sri.
“Ide bagus.” Lastri dan Siti mengamini ide
Sri.
Sri bergegas lari menuju rumahnya berharap
Bapak Ibunya belum sampai. Benar saja setelah berhasil mengeluarkan sepeda dan
mengayuhnya. Bapak meneriaki Sri.
“Kemana lagi kamu Sri?”
“Main sebentar Pak ke rumah Ali” Jawaban Sri
tak kalah keras dengan teriakan Bapaknya. Ia mengayuh sepedanya kuat-kuat agar
tidak dikejar oleh Bapaknya.
*****
Sri, Lastri, Siti, Ali, dan Didik mengayuh
sepedanya kuat-kuat tidak ada yang mau kalah. Kelima bocah itu balapan sepeda
dari rumah Ali menuju lapangan balai desa. Sengatan matahari tak pernah mereka
hiraukan. Meskipun kulit mereka terpanggang menghitam dan rambutnya mulai
memerah tersengat matahari di atas kepala mereka.
Ali datang lebih dulu diikuti Didik, Sri,
Lastri dan yang terakhir Siti. Mereka memarkir sepedanya di samping pohon
beringin samping joglo balai desa. Untuk kemudian terduduk menyelonjorkan kaki
masing-masing di bawah pohon beringin.
“Wah sepeda baru memang keren. Kalah kita
semua dibalapnya.” Didik bicara dengan napas sedikit terengah.
“Ah memang aku yang jago. Mau sepeda baru
atau onthel lama aku pasti bisa
mengalahkan kalian.”
“Alaaaah tapi kalau soal panjat memanjat
ngambilin mangganya Pak Mangun tetep aku yang nomor satu.” Jawab Sri
membanggakan diri.
“Lah emang dasar monyet kamu Sri. Pinter
banget suruh manjat.” Cletuk Siti.
Kelima bocah itu terbahak-bahak lepas. Angin
siang yang panas tak dirasakan mereka. Sri tertawa paling keras, tidak ada
perasaan marah sekalipun dibilang monyet.
Matahari mulai condong ke barat. Kelima bocah
itu bersiap pulang. Meskipun tak lagi balapan mereka tetap memacu sepedanya
kuat-kuat. Andai pedal itu mampu
berteriak pasti telah meronta dipacu sekuat itu.
*****
Sri memasuki pelataran rumahnya dengan sepeda
yang melaju secepat kuda. Ia mengerem kuat-kuat. Teeeg...tuuuing... Rem sepeda
Sri tiba-tiba putus sebelum sepeda berhenti. Ibu yang sedang menyapu teras
melihat Sri yang kebingungan. Sepeda Sri tetap melaju walau tidak dipacu.
Sepeda itu baru berhenti ketika Sri menabrakkannya ke pohon Jambu di pelataran
rumahnya.
“Duuuuh Guuuustiiiii!” Teriakan Ibu dibarengi
dengan melemparkan sapunya ke lantai. Ibu Sri berlari ke arah Sri sambil menaikkan
dasternya agar cepat berlari. Ditolongnya anak semata wayangnya itu.
“Walaaaaah Nduk yang hati-hati,” Ibu
memeriksa anaknya beberapa luka lecet di kening, lutut, sikut, dan betis
kanannya. Siti meringis kesakitan dan memegangi keningnya.
“Ayo Ibu gendong masuk.”
“Sri Kuat kok Bu!” Sri berdiri tertatih lalu
berjalan terseok-seok menuju teras. Ibunya mendirikan sepeda dan berlari ke
dalam rumah mengambil obat merah.
Bapak keluar masih lengkap dengan sarung dan
kopyahnya selesai salat ashar. Menarik satu bangku untuk kemudian memandang
anak perempuannya itu dengan wajah sedikit marah. Sri menunduk takut pada
pandangan Bapak. Semenit kemudian Bapak tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak.
Ibu keluar membawa obat merah, sebaskom air,
dan kain untuk membersihkan luka Sri.
“Aduuuh Bu sakit.”
“Tahu sakit juga to Nduk? Ya itu yang didapat
kalau main saja terus.” Bapak memulai ceramahnya.
“Dengerin itu bapakmu.” Ibu menekan luka Sri
keras-keras.
“Aduuuuuuuuh.”
“Dengar Sri! Kamu itu perempuan Nduk,
sekalipun masih kelas 5 SD. Mbok ya disudahi nakalnya. Disudahi hobi manjat
pohon, apalagi pohon tetangga, pohon mangganya Pak Mangun. Disudahi
kebut-kebutan naik sepeda. Bapak anggap rem sepedamu itu ngambek gara-gara
sering dicekik dan akhirnya kamu to yang jatuh.” Bapak mengambil napas.
“Masa setiap tahun Pak Mangun selalu ke sini
ngomel-ngomel mangganya habis.” Sambung ibu di sela napas Bapak.
“Bapak sama Ibu sudah nggak marah sama kamu
Nduk. Sekarang kalau kamu sudah kayak gini apa ya masih belum mengerti? Bapak
sama Ibu pengen kamu jadi lebih baik. Anak ranking di sekolah ya harus baik to
di masyarakat.”
“Ya Pak, Bu, maafin Sri. Besok-besok Sri
nggak manjat pohon Pak Mangun Pak biar beliau tidak ke sini lagi.”
“Bagus” Ibu mengelus rambut anaknya. Bapak
tersenyum mendengar jawaban Sri.
“Tapi kalau pohon jambu depan rumah boleh
dipanjat kan?” Sri meringis menampakkan deretan giginya.
“Aduuuuuuuh Sriiiiii!” Bapak dan Ibu serentak
teriak mendengar jawaban Sri.