Minggu, 20 April 2014

BORNDAY


BORNDAY
>>>Putri Raflessia<<<
Bahkan setelah dua bulan berlalu Rea masih saja mengingat kebiasaannya menelfon Ardan. Apa yang mereka bicarakan dan candaan apa yang sering dilontarkan. Walau kini perasaannya tak lagi sama seperti dulu yang begitu mencintai sosok itu. Tak lagi seperti dulu yang terobsesi sosok Ardan.

Rea sadar ketika ia tak mampu meneteskan air mata ketika mengetahui Ardan telah punya kekasih. Maka karena air mata itu tak menetes ia menggarisbawahi kata cinta untuk kemudian ia alihkan sebagai obsesi.

“Jika memang aku mencintainya bahkan jika aku sangat sangat sangat mencintainya pastilah air mataku tak hanya menetes tapi tertumpah.”

Goresan yang sekalipun tak menyakiti tetap saja membekas. Maka beberapa hari sebelum malam ini Rea telah kebingungan bagaimana mengucapkan selamat ulang tahun kepada Ardan. Ponselnya hilang beberapa hari yang lalu dengan beberapa suara Ardan, kenangan, dan juga nomor ponsel Ardan tentunya. 

 Maka ia mengorek kertas di kardus untuk mencari coretan tangannya dulu yang membekaskan nomor ponsel Ardan. Sama sekali tanpa tuduhan bahwa mungkin saja nomor itu telah diganti pemiliknya atau mungkin hilang sama seperti ponsel Rea.

Akan tetapi Tuhan selalu punya rencana lain sekalipun otak mengarang Rea berjalan cukup cepat. Sinyal itu menghubungkan mereka kembali pada percakapan yang sedikitpun tidak ada rasa canggung. 

“Selamat Ulang Tahun.”
“Rea?”
“Ehem… Selamat Ulang Tahun Mas.”

Rea sedikit tersenyum simpul ketika Ardan mengingat suaranya. Yakin jika saja Rea memakai nomor lamanya Ardan tidak pernah akan mengangkat telefon itu karena ya begitulah sikap Ardan. Namun keadaan berbeda jika itu adalah nomor baru ia pasti mengangkatnya.

“Terima kasih.”
“he em… Mas apa kabar?”
“Alhamdulillah masih diberi sehat, kamu?”
“Alhamdulillah masih bisa tersenyum.”
“Alhamdulillah kalau gitu. Sekarang kerja dimana?”
“Dobel kerjaanku. Oiya nomor yang dulu hilang sekaligus sama ponselnya.” 

Rea yakin ada seribu pertanyaan di benak Ardan ketika Rea mengganti nomor ponselnya. Dan ia tidak mau Ardan mengira kalau ia mengganti ponselnya hanya karena supaya Ardan mengangkat telefonnya.

“Kok bisa?”
“Ya bisa lah Mas, emang bukan rejekinya kali.”
“Ya udah sekarang rejekinya kan udah dobel-dobel.”
“hu um… Mas kapan nikah?” Rea nyelonong aja ganti topik pembicaraan.
“InsyaAllah secepatnya. Kamu?”
“eeeeeeeeeem…. Semoga segera ada yang nglamar deh.”
“kalau nggak segera dilamar ya minta dilamar donk.”

Rea mengernyitkan kening –emang semudah itu apa? –

“Ya udah doakan makanya biar segera ada.”
“Jangan doa aja tapi usaha juga Dik.”
“Itu bingungnya nggak tahu gimana caranya usaha…hehehe” Rea tertawa renyah.
“Udah ada yang disuka?”
“belum.”
“iya kah?”
“Iya… Kalau udah emang kenapa?”
“Ya dideketin.”
“Kalau orangnya jauh?”
“Ya dideketin hatinya.”
“Oooo gitu…” Keduanya tertawa renyah.
“Lanjutin gih kerjaannya…Hepi bornday Mas, semoga ke depannya jauh lebih baik, baik, baik, dan baik lagi.”
“Amin.”

Lagi percakapan yang tak tahu akan berujung kemana mereka gumamkan dalam reuni setelah cukup lama tak merepotkan sinyal malam. Tapi Rea sadar bahwa Ardan hanyalah sebatas kakak untuk sekarang. Dan bekas masa lampau tak patut lagi digali dan diungkit. Paling tidak dengan alasan bornday akan memberi kesan bahwa mereka terpisah dan tak saling menyakiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar