APA??? CIUMAN??
>>>Putri Raflessia<<<
Jam dinding di atas televisi menunjukkan pukul delapan
malam. Rea memasuki kamarnya dan tersenyum pada laptopnya. Segera ia menyalakan
laptopnya mengubek-ubeknya dan senyumnya merekah ketika menemukan yang dia
cari, game. Beberapa hari ini dia keranjingan dengan game petualangan alhasil
beberapa hari di kantor ia mendownload beberapa game.
Ternyata game tak sepenuhnya mengalihkan pikirannya dari
Ardan. Sekalipun dia benar-benar keranjingan. Matanya mematut pada jam digital
di sudut kanan bawah layar laptop, jam itu menunjukkan pukul sembilan malam.
Tepat seminggu sebelumnya ia mendapat SMS dari Ardan kalau dia baru saja pulang
dari kerja sambilannya. Tangan Rea seakan ditarik oleh magnet ponselnya lalu
memanggil kontak “Ardan Jelek”.
Sepertinya Ardan moodnya sedang baik hari ini. Tawa renyah
dan percakapan yang cukup nyambung dengan Rea tanpa kalimat pendek. Beberapa
kali ia melemparkan candaan yang membuat Rea tersenyum, tertawa, bahkan
berteriak. Lagi pertanyaan itu muncul dari mulut Ardan secara tiba-tiba.
“Kamu pernah terlintas pengen pacaran kah?”
“Seringlah…” Jawaban
ini asal nyeplos aja dari mulut Rea. Rea memang tak pernah mampu bersandiwara
jika dalam kehidupan nyata. Lain halnya ketika dia harus berakting di atas
panggung.
“Kamu pengen pacaran kayak apa?”
Rea mengernyitkan kening, dia sedikit nggak ngerti dengan
pertanyaan Ardan “Ya udah, memangnya pacaran itu seperti apa?”
“Ya..pasti ‘kan ada yang mau diharapkan dari pacaran ‘kan?
Kamu ngarep apanya?”
“Temen…ngobrol…” Rea sedikit terbata- bata, karena baginya
memang hanya sebatas itu yang dia inginkan. Agak kekanak-kanakan memang, tapi
jawaban Rea yang keluar selalu sama dengan hatinya tanpa ditutupi.
“Terus?”
“Udah”
“Itu aja? Bener hanya itu? Nggak ada yang lain?”
“He em…kayak apa… maksudnya?” Sungguh tidak biasanya Ardan
membuat Rea terbata-bata ketika menyahut.
“Yang lain, yang lebih dewasa gitu”
“Yang lebih dewasa? Seperti?” kali ini alis Rea terangkat.
Rea penasaran kemana arah pembicaraan Ardan.
“Seperti ciuman
mungkin.” Kata itu pelan tapi Rea mendengarnya cukup jelas dan kata itu cukup
membuat Rea kaget dan berteriak.
“Apaaa? Enggaklah.”
Ardan terbatuk sebentar di sana. Tidak ada sesuatu yang
tersembunyi dari batuknya pikir Rea dan Rea meneruskan jawabannya.
“Ya udah biasa, hanya sebatas ngobrol dan mungkin keluar
bareng. Inginku seperti itu Mas”
“Itu inginnya kamu, tetapi kalau kamu punya pacar dan dia
pengen yang seperti saya katakan tadi?”
“Nggak ngertilah.”
“Lho maksudnya nggak ngerti? sikapnya kamu bakalan seperti
apa?”
“Menurut kamu saya harus seperti apa?” Rea benar-benar
bingung harus menjawab seperti apa.
“Lho ini kan misalnya ada cowok yang baik, udah nyambung
diajak ngobrol, bisa diajak keluar. Tapi dia pengen itu? Lalu bagaimana?”
Rea terdiam beberapa saat. Otaknya berfikir keras…antara
bingung dan juga merasa aneh atas pertanyaan-pertanyaan Ardan malam itu.
“Nggak mau”
“Lho jawab donk!”
“Nggak mau….nggak mau….nggak mau…”
“Nggak mau berarti diputusin gitu?”
“Kalau ngomong baik-baik kenapa?” mulut Rea manyun seakan
nggak mau diputusin. Memang anak yang satu ini ajaib, ketika sebuah perumpamaan
telah memasuki otaknya dia mulai menempatkan diri menjadi pemeran utama tanpa
harus disuruh.
“Kamu ngomongnya seperti apa coba?” Ardan masih mengejarnya
dengan bejibun pertanyaan. Rea cengar-cengir baginya pertanyaan Ardan lebih
rumit daripada soal matematika yang paling dia benci sekalipun.
“Kalau cowoknya maksa dan terus merayu?” suara Ardan serak,
biasanya memang dia sudah mulai tidur jam segini
“Kemungkinan besar saya akan menutup bibir saya dengan
telapak tangan saya!” Memang hal itu yang akan dia lakukan jika ilustrasi yang
diberikan Ardan benar-benar terjadi.
“Kamu kenapa sih malam ini? Ganti topik sudah!” Rea mulai
nggak enak dengan topik malam ini. Apalagi dia nggak tahu maksud hati Ardan
yang sebenarnya.
“Lho saya ‘kan tanya misal kamu pacaran dan terjadi seperti
itu bagaimana? Kamu kan belum pernah pacaran.”
“Ya saya nggak tahu situasinya, nanti akan saya ceritakan
kalau saya sudah pacaran ya.”
“Ya kalau kamu masih inget sama saya.”
Rea tersenyum, “Masih ingatlah, selama ini ‘kan saya yang
selalu ingat kamu.”
Beberapa saat tidak terjadi percakapan di antara mereka. Rea
terdiam karena Ardan sama sekali tidak menyahuti pernyataannya.
“Pacaran itu banyak negatifnya Dek. Jangan hanya karena kamu pengen...pengen... dan pengen pacaran terus kamu milih cowok sembarangan. Lebih baik kamu nggak
usah pacaran daripada macem-macem. Kamu terlalu polos dan tetaplah seperti itu.”
Rea terdiam, dia mengerti ucapan Ardan. Tetapi dia tidak
mengerti mengapa Ardan menjadi sosok yang aneh. Dia mencerna setiap pertanyaan
dan pernyataan Ardan. Rea mencoba mencari tahu apa maksudnya? Apakah Ardan
sekadar bertanya atau sedang mengetesnya? Apakah Ardan sekadar bertanya atau
ada sesuatu di dalam hatinya yang tidak bisa ia ungkapkan dengan lugas.
maksud tersirat dari nasehatnya ardan apa sih? wkw
BalasHapusEdit...edit...! Nasihat dede'
Hapuscoba diapresiasi sastra ya maksud tersiratnya apaan? itung-itung belajar buat UAS