JANGAN MALU BILANG SAYANG
>>>Putri Raflessia<<<
Rea masih saja belum percaya dengan pendengarannya kalau
Ardan baru saja memanggilnya sayang. Dia terdiam, memilin selimutnya dengan
tangan kanannya. Tangan kirinya masih menempelkan ponsel di telinganya. Ia
menunggu kalimat berikutnya dari Ardan yang disambungkan sinyal ke telinganya.
Tetapi seharusnya Rea memang tahu bahwa kalimat seperti itu tidak akan diulang
Ardan beberapa kali. Dan untuk selanjutnya memang harus Rea yang melanjutkan
perbincangan dengan pertanyaan daripada keduanya sama-sama diam.
“Apa? Maksudnya?”
“Maksudnya apa?”
“Kata…itu, yang barusan kamu katakan.”
“Udah malem ayog tidur yok”
Rea cemberut. Ia memang tahu kalau ekspresinya sama sekali
tidak dapat dilihat oleh Ardan tetapi ekspresi itu dengan spontan ia gambarkan
di wajahnya. Jarinya mencubiti bonekanya tanpa ampun.
“Nggak…nggak mau.”
“Aku ngantuk lho, besok harus masuk pagi.”
“Nggak…nggak mau…jawab dulu pertanyaanku!!!” suara Rea
merajuk, mirip sekali dengan anak kecil yang lupa dibelikan permen.
“Apa sih sayang? Yank…yank…yank…”
“Kenapa kamu panggil aku sayang terus sih?” Rea lebih
merajuk lagi, bukan karena dia tidak suka dipanggil sayang tetapi karena Rea
tidak tahu perasaan Ardan, Rea tidak mengerti arti ucapan yang sayang yang
Ardan katakan.
“Iya oke…apa sih Dek…Adeeek…Adeeek….apaaa?” Ardan mengubah
panggilannya kepada Rea.
“Kenapa cowok gampang banget ngucapin kata sayang?”
Terdengar senyuman Ardan di telinga Rea.
“Ya udah kalau nggak mau jawab, cepetan bobo’ masku sayang.”
Dengan mulut yang masih manyun Rea menggoda Ardan dengan kata yang sama.
“Tuh ‘kan cewek juga mudah banget ngucapin sayang.”
“Saya ‘kan ketularan kamu.”
“Tapi sebenarnya sayang nggak?”
Rea terdiam. Dia menggigiti bibir bawahnya. Speechless dia tidak tahu apa yang harus
dikatakan saat ini. Pertanyaan Ardan terlalu menodong dan menyentuh hatinya. Sampai
beberapa menit kemudian Rea yang selalu berbicara banyak diam tanpa satu kata
pun keluar dari mulutnya.
“Kok nggak dijawab. Kamu ‘kan sudah pernah bilang sayang
sama aku.”
“Kapan?” seketika Rea teriak, ia mencak-mencak dengan
pernyataan Ardan barusan.
“Dulu.” Jawaban datar keluar dari mulut Ardan.
“Nggak pernah, aku nggak pernah bilang dengan mulutku kalau
aku sayang sama kamu.”
“Memang nggak pernah bilang Dek. Tapi saya tahu dari sikap
kamu.”
“Kenapa bilangnya saya pernah ngomong sayang?”
“Bener ‘kan? Kamu sayang aku?”
“Perasaanmu sendiri bagaimana?”
Ardan tidak menanggapi pertanyaan Rea “Kamu tidak pernah
ngomong Aku sayang kamu atau aku cinta kamu padaku. Tapi aku tahu.”
Tidak ada jawaban dari mulut Rea. Dia tidak mau berbohong
untuk bilang tidak tetapi dia juga tidak ingin mengucapkan cinta terlebih
dahulu.
“Kalau cinta itu ngomong Dek, kalau sayang itu juga ngomong.
Jangan disimpen.”
Rea memang terlalu kolot mengenai urusan tembak-menembak.
Baginya harus cowok yang ngomong terlebih dahulu. Tidak peduli seberapa sayang
dan cintanya kepada seseorang. Dan ini ia hanya diam mendengarkan semua
perkataan Ardan tanpa menimpalinya sedikitpun. Rea menutup percakapan malam itu
dengan ucapan selamat malam dan selamat tidur.
Kediri, 20 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar