Selasa, 09 Agustus 2011

SANGKAR EMAS

Sangkar Emas
>>>Putri Raflessia

Aku hanya duduk terdiam di bangku kayu sambil mengamati sekelilingku siang itu. Kulihat banyak hal yang sebelumnya tak dapat kutemui dalam indahnya kamarku yang selalu membuat iri temanku saat mereka melihatnya. Kini aku melihat senyum seorang nenek yang sangat bahagia sambil memegang syalnya, mungkin pemberian seseorang yang sangat berarti baginya. Kulihat seorang gadis yang menangis tersedu dipeluk oleh seorang lelaki yang usianya tampaknya sebaya atau lebih tua beberapa tahun dari gadis itu. Kulihat pula seorang kakek yang tertidur dengan pulasnya di bangku taman, dilihat dari bajunya yang bagus dia bukanlah seorang gelandangan yang sering aku lihat dari layar persegi di dalam kamarku, meskipun wajahnya penuh sayatan waktu namun dia bersih, wajahnya putih, dan kelihatan sangat bijaksana. Ada juga anak-anak yang bermain pasir di bak pasir, ibunya hanya senyum-senyum kelihatannya ia ikut senang jika anaknya juga senang namun aku ada seorang ibu yang memarahi anaknya habis-habisan karena bajunya sangat kotor.
Ternyata kenyataan itu ada dan hal ini lebih membuatku yakin akan hidup yang penuh warna. Ternyata yang namanya bunga liar itu ada, ternyata banyak orang selain diriku yang tinggal di dunia ini, dunia yang diciptakan oleh Tuhan. Kemudian aku teringat akan masa-masaku di dalam sangkar emas yang dinamakan sebuah kamar. Setiap hari rasanya sama saja, aku hanya melihat senyum, tangis dan semuanya lewat layar kaca yang bagiku dahulu adalah sebuah barang yang sangat berharga karena memberiku banyak informasi mengenai dunia di luar sangkarku yang disebut sebagai kamar.
“Non makan dulu!” Ini adalah perkataan mbok Jah, pembantu rumah tangga di rumahku yang selalu menemaniku dan meladeniku sesuai dengan keinginanku. Aku tersenyum sekilas pada mbok Jah kemudian merenggut baki makanan dari tangannya.
“Terimakasih ya Mbok! Selama ini sudah menemaniku. Aku tidak tahu dengan cara apa harus berterima kasih,” kemudian aku mengecup pipi simbok.
“Ini kan memang sudah tugasnya Simbok, meladeni Non Mila. Itu sebabnya Simbok dibayar kan Non? jadi Non tidak perlu sungkan atau berterima kasih secara berlebihan!”
“Bagiku simbok adalah segalanya, mungkin lebih daripada Mama dan Papa….” Belum selesai aku berbicara simbok langsung menyahut.
“Huus…non ini ngomong apa sih? Masa’ mama dan papa dibandingkan dengan Simbok!” Simbok menempelkankan ujung telunjuknya di bibirnya.
“Ya Mbok, Mbok yang mampu menggambarkan dunia di luar sangkar ini seperti apa, Mbok dapat memberi tahuku ekspresi-ekspresi orang yang ada di layar kaca itu, simbok memberi tahuku ekspresi marah, bahagia dan sebagainya, juga memberi tahu tentang apapun yang ada di luar sana. Ya setidaknya Mama dan Papa telah menggaji simbok untuk menemaniku.” Simbok hanya tersenyum simpul, kemudian meninggalkan diriku sendirian untuk makan.
*****
Aku yang dahulu berbeda dengan diriku yang sekarang. Kamar seorang putri yang lengkap dengan segala fasilitasnya, ranjang berenda, televisi, kulkas, laptop, lemari yang penuh dengan pakaian indah dan segalanya telah aku tinggalkan. Bagiku meskipun sebuah sangkar emas, tetap saja adalah sebuah kurungan yang membuat diriku terbelenggu di dalamnya. Meski udaranya adalah udara wangi parfum, namun tetap saja pengap bagi dadaku, meskipun hiasannya bak kamar putri namun tetap saja hanya seperti rumah kardus milik anak jalanan yang aku lihat dalam layar kaca. Aku sangat bahagia dapat meninggalkan sangkar dan segala isinya yang ada di dalamnya. Aku senang bisa merasakan tetes embun di pagi hari. Aku senang bisa melihat orang-orang yang banyak. Aku senang melihat senyum yang nyata, marah yang nyata, semua hal yang nyata yang terdapat di dunia yang disebut bumi ini.
Kebahagiaan yang kurasakan ini memang baru saja datang, sebelumnya aku sangat bersedih melihat kenyataan bahwa aku harus pergi meninggalkan simbok, mama dan papa. Apalagi melihat mereka meneteskan bulir air mata di tanah berumput hijau yang banyak terpasang patokan bertuliskan nama-nama yang aku sendiri tidak mengenalnya. Aku melihat semuanya prosesi itu yang dibarengi dengan banjir air mata dari anggota keluargaku tak terkecuali simbok. Rasa sakit yang amat pada dadaku namun kini berubah jadi bahagia karena bagiku itu semua tidak perlu berkepanjangan,, toh kini aku telah mendapatkan kebahagiaan.
*****
Aku tidak pernah melihat simbok menggerutu saat merawatku, merawat anak yang penyakitan. Aku tahu simbok tulus mendampingiku, sampai aku terbebas dari sangkar emas itu. dahulu aku sempat bertanya pada simbok…
“Mbok apakah dunia luar itu indah?”
“Tentu Non, tidak ada yang tidak indah ciptaan Allah itu.”
“Kapan ya aku bisa keluar, melihat ekspresi-ekspresi wajah yang nyata dan merasakan tetes embun dan semua yang ada di dunia luar?”
“Setiap masa pasti ada saatnya Non.” Kemudian simbok pergi meninggalkanku, mungkin dia tidak ingin aku bertanya yang macam-macam yang tidak dapat dia jawab dengan bijak. Simbok juga pernah mengatakan ada pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban yang tepat untuk diberikan, mungkin karena itu pulalah Simbok memberi jawaban yang tidak pasti.
Setiap masa pasti ada saatnya, aku suka dengan kata-kata simbok itu. aku telah sampai pada masaku, masa dimana aku terbebas dari sangkar emas yang megah namun tak mampu menatap dunia luar secara luas. Tuhan telah memberiku waktu untuk hidup dengan penyakit yang tidak pernah aku sesali dan Tuhan telah menempatkanku di tengah orang-orang yang menyayangiku, walaupun kini aku sampai di tempat penuh patokan itu aku juga tidak akan pernah menyesal.
Kini aku dapat merasakan kebebasan, menghirup udara yang segar, mencium harum bunga langsung dari pohonnya, melihat ekspresi seseorang secara langsung bukan dari layar kaca persegi lagi. Kulitku akan lebih bersinar ketika sinar matahari menghangatkannya, aku tidak perlu takut dengan sinar itu lagi. Sinar yang akan membuat aku mati dalam sekejap jika mengenaiku. Angin asli yang menerpa sering membuatku membandingkannya dengan AC dalam sangkar emasku.
Sangkar emas yang menampungku dan memberiku cerita dunia luar yang kini dapat kurasakan dengan nyata lewat diri yang telah mati.

Malang, Selasa 18 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar