Kamis, 04 Agustus 2011

KEMATIAN TANPA KESADARAN

Kematian Tanpa Kesadaran

>>>Putri Raflessia<<<

Aku pergi bersama teman-temanku ke sebuah pesta kembang api. Pesta yang sangat meriah, kembang api warna-warni menghiasi pekatnya langit malam itu. Ya! malam ini adalah malam tahun baru, tak heran banyak tempat mengadakan pesta kembang api untuk menyambut pergantian tahun. Teriakan histeris ketika jarum panjang jam menginjak angka dua belas tepat dan bersatu dengan jarum pendeknya. Riuhnya terompet ikut berbaur dengan teriakan manusia yang ada di sana.

Bagiku setiap tahun sama saja tidak ada yang berubah. Dari perayaannya sampai orang-orang yang paling antusias merayakannya. Aku menatap dari kejauhan temanku yang terlihat sangat bahagia menyambut tahun baru. Seorang dari mereka menghampiriku dan berkata “Bukankah kau ikut ke sini untuk merayakan tahun baru? Jangan hanya duduk saja! Tiup terompetmu!” Aku tersenyum simpul lalu menjawab, “Aku di sini saja ya!” Kemudian dia pergi ke tempat teman-teman yang lain dan meninggalkanku.

“Bukankah ini semua membosankan?” Seorang anak laki-laki duduk di sampingku dan tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang mengena di hatiku, namun aku hanya terdiam untuk mendengar perkataannya berikutnya.

“Selalu merayakan tahun baru dengan teriakan histeris dan tiupan terompet, bukankah sangat membosankan?”

“Menurutmu harus bagaimana tahun baru dirayakan agar tidak membosankan?” Mulutnya masih membungkam, kemudian aku lanjutkan lagi pertanyaanku, “Bukankah kau di sini juga mempunyai niat yang sama dengan mereka, yaitu merayakan tahun baru dengan cara yang sama setiap tahunnya?”

“Bukan, niatku sama denganmu.” Setelah berkata seperti itu dia pergi meninggalkanku. Aku hanya terpaku menatapnya, aku bahkan tidak tahu niatku yang sebenarnya datang ke sini, kenapa dia bilang niatnya sama denganku.

Sampai di rumah pukul dua pagi tanggal 1 Januari. Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan anak laki-laki aneh yang sangat misterius bagiku. Akibatnya aku mengantuk sekali di sekolah. Jam pertama pelajaran Matematika cukup menyita tenagaku untuk membuka mata. Dua hari kemudian kelas kami kedatangan siswa baru. Anak laki-laki yang baru kukenal dari pesta kembang api malam tahun baru kemarin lusa.

Saat pulang sekolah dia tiba-tiba jalan berjejer di sampingku, kemudian dia tersenyum. Senyum sangat manis, senyum dari seseorang yang misterius.

“Kau, dulu sekolah di mana?” Dia masih saja tersenyum tanpa bicara sepatah kata pun. Aku pun jadi diam tidak bertanya lagi

“Menurutku tahun baru bisa dilaksanakan dengan berdo’a…” Aku menoleh melihat dirinya tetapi dia tidak berhenti berjalan. Aku mengikutinya dari belakang.

“Karena kita tidak tahu kapan kita akan mati, mungkin pada tahun itu” suaranya sedingin sikapnya sama sekali tidak ada tekanan pada setiap kata-katanya. Di pertigaan dia berbelok ke kiri, aku tidak mengikutinya lagi karena aku harus pulang ke rumah itu berarti aku harus belok ke kanan.

*****

Setelah makan malam aku bergegas ke kamar, ada PR yang harus aku kerjakan. Tetapi betapa kagetnya diriku ketika ada anak lelaki itu, murid baru di sekolahku. Dia duduk di ranjangku sambil melihat-lihat album kenanganku semasa SMP. Dia senyum-senyum sendiri membuka tiap lembarnya.

“Bagaimana kau bisa masuk?”

“Lewat pintu hatimu,” Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Bagiku anak ini benar-benar misterius, aku bahkan tidak mengusirnya dari kamarku. Aku mengerjakan PR seperti yang aku rencanakan. Sesekali aku menoleh ke anak itu, dia masih sangat senang melihat album kenangan itu.

“Aku bahkan lupa menaruhnya, di mana kau menemukannya?”

“Ada di bawah ranjangmu” dia berhenti sejenak lalu meneruskan bicaranya.

“Bukankah temanmu SMP sudah ada yang mati? Cika, Roni dan Wawan kalau tidak salah.”

“Bagaimana kau bisa tahu?” Dia hanya menjawab dengan seulas senyum, kemudian menutup album kenangan itu dan beranjak dari ranjangku. Aku mengikutinya sampai pintu keluar kemudian dia mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Setelah dia pergi aku kembali ke kamarku, otakku dipenuhi berjuta tanda tanya. Tentang bagaimana dia tiba-tiba muncul di kehidupanku, bagaimana dia tiba-tiba masuk ke dalam kamarku, bagaimana dia tahu letak album kenanganku padahal aku sendiri lupa, dan bagaimana dia tahu teman-teman SMP ku yang telah mati. Dan yang lebih membuatku bingung adalah senyum itu, sepertinya aku pernah melihatnya sewaktu aku masih kecil.

*****

Dia semakin dekat denganku, setiap istirahat ataupun pulang sekolah kami selalu bersama. Dia juga sering berkunjung ke rumahku. Bahkan pada tahun baru berikutnya kita merayakannya bersama-sama. Kita merayakan tahun baru dengan berdoa dan sedikit pesta kembang api untuk tidak meninggalkan kemeriahan tahun baru.

Tanggal 12 Februari aku melihat surat kabar yang di pampang di toko Koran. Aku melihat foto wajah anak laki-laki itu masih dengan senyumnya yang sangat manis. Dalam surat kabar itu diberitakan bahwa dia telah mati kemarin malam, dengan terburu-buru aku berlari menuju rumahku. Air bening membasahi jalanan yang aku lalui, aku ingin segera memberitahu orang tuaku kalau dia, anak laki-laki itu mati. Sampai di rumah aku disambut oleh suasana yang sangat mencekam, orang-orang memakai pakaian hitam membawa karangan bunga dan juga beras di ember.

“Ya Allah apa lagi ini? Siapa gerangan yang mati di rumahku? Aku baru saja tahu temanku telah tiada, lalu siapa lagi?” kakiku lemas hampir tidak mampu aku gerakkan ketika sampai di pintu rumahku. Aku melangkah dengan gontai, aku melihat wajah yang telah dibalut dengan kain putih itu. dia terlihat sangat kaku dan pucat. Aku melihat dengan lebih dekat, bahkan sangat dekat.

“Ya Allah itu aku! aku yang mati dan dishalati, tetapi wajah itu…wajah itu adalah wajah anak lelaki itu, anak lelaki yang selalu bersamaku” Aku menuju kamar mama untuk melihat mama. Kudapati tubuh mama yang tergolek lemas di atas ranjang, air matanya terus mengalir. Aku mendapati pantulan wajahku dari cermin kamar mama, itu memang aku, dan wajahku sangat mirip dengan wajah anak lelaki itu.

“Aku memang dirimu! Tak heran jika kau mengenali senyumku” Anak laki-laki itu datang dengan senyum itu kembali.

“Aku hanya mengingatkanmu kalau waktumu telah habis.” Tangannya yang dingin menggandeng tanganku yang kini juga dingin. Kami pergi meninggalkan dunia.

Nganjuk, 15 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar