Kamis, 04 Agustus 2011

HARAPAN SANG POHON

Harapan Sang Pohon
>>Putri Raflessia

Aku terkekeh sendiri mengingat masa laluku. Teringat masa laluku, saat bercengkrama dengan teman-temanku. Saat kami bersama-sama meneduhkan tubuh-tubuh penuh keringat di bawah kami. Saat kami memanggang tubuh kami bersama di bawah matahari untuk meneduhkan anak-anak yang bermain petak umpet. Daun- daun kami yang mereka anyam menjadi mahkota, atau digunakan sebagai sayur-sayuran untuk permainan.
Tetapi kini aku tersedu. Aku sendiri di tempatku, tidak ada anak-anak yang bermain lagi seperti dulu. Tubuhku tidak lagi mereka jadikan sandaran untuk bermain petak umpet. Mereka yang dahulu kubesarkan dengan semangat anak-anak kini telah dewasa dan anak-anaknya tidak lagi mau main dengan diriku. Anak-anak mereka lebih memilih berlama-lama di depan layar kaca persegi yang disebut-sebut sebagai televisi.
Semakin tua aku semakin penyakitan, daunku kini penuh bercak hitam karena asap-asap knalpot. Aku semakin sesak karena kepulan asap dari pabrik-pabrik. Aku pernah berpikir mungkin lebih baik aku mati, namun berguna bagi manusia-manusia itu. daripada aku hidup namun disiksa oleh mesin yang dibuat oleh mereka. Setidaknya mungkin aku bisa menjadi kayu bakar atau mungkin tiang penyangga rumah.
Setiap kali hujan datang disertai dewi isis, akarku sudah tidak cukup kuat untuk menopang tubuhku. Ini semua dikarenakan asap-asap dari mesin-mesin kurang ajar itu. tubuhku semakin lemah karena mereka. aku melihat teman-temanku yang mati dan manusia menjadikannya kayu bakar, kenapa aku masih dibiarkan berdiri rapuh disini? Bahkan tubuhku siap membunuh siapa saja yang melintas dibawahku saat aku rubuh. Lebih baik aku segera dibunuh, lebih baik potong aku dengan mesin bergigi tajam itu yang dahulu membunuh kawan-kawanku daripada aku tersiksa oleh penyakit.
*****
“rrrrngng….. rrrng…….” Suara yang sangat terdengar kasar di telingaku. Tubuhku semakin sakit, aku melihat ada dua manusia di bawahku dan memotong tubuhku dengan mesin bergigi tajam. Suara kasar itu ternyata dari mesin bergigi tajam itu. Mungkin kemarin secara tidak sengaja mereka mendengar keluhanku, mungkin mereka mendengar harapanku yang ingin mati, mungkin mereka mendengar raungan kesakitanku, atau mungkin mereka sadar kalau aku membahayakan hidup mereka jika aku roboh.
“rrrrng…rrrrngng….rrrngng…..rrrrngng…” suara itu masih kudengar sampai aku benar-benar roboh. Aku benar-benar pincang dan mati. Harapanku terkabul, harapan untuk mati berguna.

Nganjuk 24 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar