Selasa, 13 Oktober 2015

KAKI KECIL

KAKI KECIL
-Putri Raflessia-
https://c2.staticflickr.com/4/3513/3467965369_a937e836b8_b.jpg

Kaki kecil itu menapaki jalanan hingga debunya berdebum. Di tangan kanannya menenteng rantang dan di tangan kirinya menenteng ceret berisi air . Walau mungil tapi dia kuat menenteng rantang yang penuh makanan itu. Sri beberapa jam lalu ia diteriaki neneknya supaya segera mengantarkan makan siang untuk ibu dan bapaknya di sawah. Segera setelah berganti baju Sri menuju rumah nenek yang ada di belakang rumahnya dan bergegas menenteng rantang menuju sawah.

Dengan dibalut peluh ia sudah menyusuri pematang sawah menuju gubuk peteduh yang selalu digunakan ibu dan bapaknya. Senyum ibunya menyeruak menghiasi wajahnya. 

“Makasih ya Nduk” Ibu Sri mengusap peluh yang menuruni kening putrinya. Setelah Sri meletakkan rantang itu di gubuk.

Mengirim makan siang memang menjadi tugas Sri sepulang sekolah. Anak SD dengan perawakan mungil itu selalu membuat trenyuh ibunya kalau datang mengantar makan siang dengan peluh membanjiri wajahnya.

“Ya Bu.” Sri melepas sandalnya dan menaiki gubuk untuk bergabung makan dengan Ibu dan Bapaknya.
“Kamu mampir kemana dulu Sri?” Kata Bapak sebelum memasukkan pulukan nasi ke dalam mulutnya.

Sri meringis sambil menggigit tempe. “Pulang telat Pak, tadi Sri diteriaki simbah gara-gara kelamaan ganti baju juga.”

“ Ada acara apa di sekolah Nduk?”

“Nggak ada Bu” Sri melirik ibunya yang mengerutkan kening. Sri tahu betul kalau sudah seperti itu ibu pasti masih menyimpan pertanyaan.

“Bu nanti jahitin Rok seragam Sri ya! Sobek abis buat manjat pohon mangga.”

“Wealah Nduk... kok ya ada-ada saja. Perempuan kok ya senangnya manjat pohon. Sudah berapa kali ibu jahit rok mu masih saja manjat-manjat pohon.”

“Aduh Pak sakit!” Satu tarikan panas mendarat di telinga Sri.

Bapak tidak akan pernah marah ketika sedang makan. Akan tetapi jeweran di telinganya akan berbuntut omelan ketika makan siang selesai. Buru-buru Sri menyelesaikan makannya. Melumat tempe dan mengunyah nasi secepat mungkin mendahului bapaknya agar dia bisa segera kabur. 

Sri segera menuang segelas air dari ceret lalu menghabiskannya dalam sekali teguk dan mengusap mulutnya. Sri melompat menuruni gubuk ketika bapaknya memasukkan suapan terakhir di piringnya.
“Marahnya nanti di rumah saja ya Pak. Sri mau main dulu ke sungai sama Siti.” 

Bapak Sri hampir tersedak melihat anaknya berlalu. Buru-buru ibu menuang air ke gelas dan menyodorkannya ke bapak.
“Anakmu Bu. Kayak anak laki-laki saja sukanya manjat pohon, kelahi, mandi di kali, balapan sepeda.”

“Itu anakmu juga Pak. Bocah yang tiap pulang kalau nggak roknya sobek, dengkul atau sikutnya berdarah, atau kita kadang yang kena omel tetangga kampung sebelah gara-gara mangganya hilang.”
*****
Musim mangga tahun lalu...
Senja menyemburkan jingga pada awan. Ibu sedang menyapu halaman rumah dengan sapu lidi yang sudah pendek aus dimakan tanah, sehingga ia harus sangat membungkuk ketika menyapu.
Mula-mula ibu melihat kaki yang berdiri di hadapannya kemudian perlahan bangkit dan menghadap tamu tersebut. Tamu dengan kumis tebal yang khas, panjang, dan keriting. Pak Mangun selalu saja datang dengan berkacak pinggang yang menunjukkan ia akan menyemburkan api kemarahan. Ibu yang sudah tahu maksud kedatangannya hanya menelan ludah lalu mengulum senyum. 

“Eeeeh...Pak Mangun darimana Pak?” Sekadar basa-basi. Kalimat ini yang selalu keluar dari mulut ibu ketika Pak Mangun datang. Meskipun setiap kali musim mangga Pak Mangun pasti akan datang dan marah-marah karena ulah Sri.

“Bu saya capek tiap musim mangga selalu saja ke sini karena ulah Sri. Sri dan teman-temannya manjatin pohon mangga saya ngambilin seenaknya. Kalau cuma satu atau dua nggak masalah ini ngambilnya keroyokan.”

“Maaf Pak Mangun. Saya cuma bisa bilang maaf Pak. Sekali lagi maaf. Saya dan suami saya sudah ratusan kali memarahi Sri, melarang manjat pohon, melarang nyuri mangga, dan yang jelas melarangnya untuk berbuat nakal. Tapi ya bagaimana lagi Pak, anak usia kelas 4 SD dilarang malah dikiranya disuruh.”

“Lha mbok ya minta baik-baik Bu. Ditunggu kalau sudah benar-benar matang.”

“Itu saya juga sudah kasih tahu Pak. Supaya minta baik-baik, supaya berbuat baik ke Pak Mangun.”

“Oh mungkin gara-gara itu Sri meninggalkan surat ini di samping lima buah mangga yang dia letakkan di teras” Pak Mangun menyodorkan selembar kertas dengan coretan khas anak kecil.

Ibu membacanya sambil tersenyum dan geleng-geleng.
Lima mangga ini untuk Pak Mangun. Bapak tidak usah manjat pohon Pak nanti jatuh. ‘kan Bapak sudah tua. Bapak tidak usah berterima kasih karena saya yang berterima kasih atas mangga gratisnya. Bapak baik, saya juga baik kan. Kata Ibu kita harus jadi orang baik. Selamat menikmati Pak!

“Kok malah senyum-senyum sampean ini Bu.” Pak Mangun menepok jidatnya.

 “Sekali lagi maaf Pak. Nanti biar saya dan bapaknya yang marahi lagi supaya kapok.”

Ibu Sri membungkuk beberapa kali ketika mengucapkan maaf. Pak Mangun pergi sambil memilin kumisnya meninggalkan Ibu Sri.
*****
Sri berhasil menghindar dari kemarahan bapaknya. Setidaknya sampai nanti pulang. Kaki mungilnya kini menapaki bantaran sungai. Sambil bersiul dan sesekali melenggang kemudian menyapa beberapa orang yang dikenalnya di jalan.

“Mau kemana Sri?” Sapa Bu Sastro yang membawa rinjing di punggungnya. Jelas sekali ia baru pulang dari pasar.

“Ke sungai Bu mau main dengan Lastri, Siti, Ali, dan Didik.” Senyum sumringah ramah yang selalu ia sunggingkan kepada setiap orang. 

Sebenarnya jika mengenal Sri lebih dalam dia cenderung sebagai gadis kecil yang riang, ramah, murah senyum, dan rajin. Untuk ukuran nakal memang sudah lumrah anak sekecil itu mulai bermain sesuka hatinya. Kalau lelah pasti juga bakal berhenti.

“Sriiiii” Lastri dan Siti berteriak kuat ketika melihat Sri.

Sri kemudian mencemplungkan kakinya ke air untuk kemudian menghampiri Lastri dan Siti. 

“Ali dan Didik mana?” Sri mengerutkan kening. Biasanya kalau main ke sungai dua bocah lelaki itu paling cepet. Tapi sekarang malah belum nampak batang ekornya.

“Ali dapat sepeda baru dari Bapaknya. Didik ke rumah Ali buat lihat sepeda.” Siti menerangkan sambil memainkan rambutnya yang dikuncir ala buntut kuda.

“Waaaaah.... kalau begitu ayo mainan sepeda saja. Balapan sama sepeda barunya Ali.” Usul Sri.

“Ide bagus.” Lastri dan Siti mengamini ide Sri.

Sri bergegas lari menuju rumahnya berharap Bapak Ibunya belum sampai. Benar saja setelah berhasil mengeluarkan sepeda dan mengayuhnya. Bapak meneriaki Sri.

“Kemana lagi kamu Sri?”

“Main sebentar Pak ke rumah Ali” Jawaban Sri tak kalah keras dengan teriakan Bapaknya. Ia mengayuh sepedanya kuat-kuat agar tidak dikejar oleh Bapaknya.
*****
Sri, Lastri, Siti, Ali, dan Didik mengayuh sepedanya kuat-kuat tidak ada yang mau kalah. Kelima bocah itu balapan sepeda dari rumah Ali menuju lapangan balai desa. Sengatan matahari tak pernah mereka hiraukan. Meskipun kulit mereka terpanggang menghitam dan rambutnya mulai memerah tersengat matahari di atas kepala mereka.

Ali datang lebih dulu diikuti Didik, Sri, Lastri dan yang terakhir Siti. Mereka memarkir sepedanya di samping pohon beringin samping joglo balai desa. Untuk kemudian terduduk menyelonjorkan kaki masing-masing di bawah pohon beringin.

“Wah sepeda baru memang keren. Kalah kita semua dibalapnya.” Didik bicara dengan napas sedikit terengah.

“Ah memang aku yang jago. Mau sepeda baru atau onthel lama aku pasti bisa mengalahkan kalian.”

“Alaaaah tapi kalau soal panjat memanjat ngambilin mangganya Pak Mangun tetep aku yang nomor satu.” Jawab Sri membanggakan diri.

“Lah emang dasar monyet kamu Sri. Pinter banget suruh manjat.” Cletuk Siti.

Kelima bocah itu terbahak-bahak lepas. Angin siang yang panas tak dirasakan mereka. Sri tertawa paling keras, tidak ada perasaan marah sekalipun dibilang monyet.
Matahari mulai condong ke barat. Kelima bocah itu bersiap pulang. Meskipun tak lagi balapan mereka tetap memacu sepedanya kuat-kuat. Andai pedal itu mampu berteriak pasti telah meronta dipacu sekuat itu.
*****
Sri memasuki pelataran rumahnya dengan sepeda yang melaju secepat kuda. Ia mengerem kuat-kuat. Teeeg...tuuuing... Rem sepeda Sri tiba-tiba putus sebelum sepeda berhenti. Ibu yang sedang menyapu teras melihat Sri yang kebingungan. Sepeda Sri tetap melaju walau tidak dipacu. Sepeda itu baru berhenti ketika Sri menabrakkannya ke pohon Jambu di pelataran rumahnya.

“Duuuuh Guuuustiiiii!” Teriakan Ibu dibarengi dengan melemparkan sapunya ke lantai. Ibu Sri berlari ke arah Sri sambil menaikkan dasternya agar cepat berlari. Ditolongnya anak semata wayangnya itu.

“Walaaaaah Nduk yang hati-hati,” Ibu memeriksa anaknya beberapa luka lecet di kening, lutut, sikut, dan betis kanannya. Siti meringis kesakitan dan memegangi keningnya. 

“Ayo Ibu gendong masuk.”

“Sri Kuat kok Bu!” Sri berdiri tertatih lalu berjalan terseok-seok menuju teras. Ibunya mendirikan sepeda dan berlari ke dalam rumah mengambil obat merah.

Bapak keluar masih lengkap dengan sarung dan kopyahnya selesai salat ashar. Menarik satu bangku untuk kemudian memandang anak perempuannya itu dengan wajah sedikit marah. Sri menunduk takut pada pandangan Bapak. Semenit kemudian Bapak tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak.
Ibu keluar membawa obat merah, sebaskom air, dan kain untuk membersihkan luka Sri.
“Aduuuh Bu sakit.”

“Tahu sakit juga to Nduk? Ya itu yang didapat kalau main saja terus.” Bapak memulai ceramahnya.

“Dengerin itu bapakmu.” Ibu menekan luka Sri keras-keras.

“Aduuuuuuuuh.” 

“Dengar Sri! Kamu itu perempuan Nduk, sekalipun masih kelas 5 SD. Mbok ya disudahi nakalnya. Disudahi hobi manjat pohon, apalagi pohon tetangga, pohon mangganya Pak Mangun. Disudahi kebut-kebutan naik sepeda. Bapak anggap rem sepedamu itu ngambek gara-gara sering dicekik dan akhirnya kamu to yang jatuh.” Bapak mengambil napas.

“Masa setiap tahun Pak Mangun selalu ke sini ngomel-ngomel mangganya habis.” Sambung ibu di sela napas Bapak.

“Bapak sama Ibu sudah nggak marah sama kamu Nduk. Sekarang kalau kamu sudah kayak gini apa ya masih belum mengerti? Bapak sama Ibu pengen kamu jadi lebih baik. Anak ranking di sekolah ya harus baik to di masyarakat.”

“Ya Pak, Bu, maafin Sri. Besok-besok Sri nggak manjat pohon Pak Mangun Pak biar beliau tidak ke sini lagi.”

“Bagus” Ibu mengelus rambut anaknya. Bapak tersenyum mendengar jawaban Sri.

“Tapi kalau pohon jambu depan rumah boleh dipanjat kan?” Sri meringis menampakkan deretan giginya.

“Aduuuuuuuh Sriiiiii!” Bapak dan Ibu serentak teriak mendengar jawaban Sri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar