RASA #2
>>>Putri Raflessia<<<
Sebenarnya hatinya yakin bahwa perhatian Rea bukan hanya
sekadar perhatian seorang teman.Sosok asing yang bahkan hanya dikenalnya satu
bulan terakhir sebelum Rea mengakhiri tugasnya di lingkungan kerja yang sama
dengannya. Tapi dia tak mau menganggap perhatian itu. Gadis yang telah mengisi
hatinya adalah alasan ia hanya mampu menanggapi setiap rumor dengan senyuman.
Satu kota bukan berarti bisa bersua dengan leluasa. Ardan
tak pernah berpikir ia dapat bertemu dengan Rea, setelah mereka tak berada di
lingkungan kerja yang sama. Sinyal masih sering mengabarkan suara mereka. Satu
waktu kunjungan Rea membuat mulut Ardan terkunci rapat. Mulutnya tak mampu
berkata sepatah katapun. Matanya memandang gadis yang beberapa hari lalu masih
berbicara dengannya melalui ponsel. Ada rasa yang hinggap di hatinya. Dia menepis
kuat-kuat, mungkin hanya sekadar nafsu karena dia baru saja putus dengan gadis
yang dicintainya.
Ardan terdiam memikirkan perkataan temannya mengenai Rea.
Meskipun dia sebenarnya yakin rasa cinta itu ada pada hati Rea. Tapi seribu
bimbang menghampiri hatinya. Baginya sangat ganjil tiba-tiba mengatakan ada
rasa di hatinya setelah hampir satu tahun mereka mengenal dan Ardan masih tetap
menjadi pribadi yang dingin tak banyak omong. Disahutnya ponsel, menekan nomor
Rea, untuk mengklarifikasi ucapan temannya. Seorang perempuan dengan gaya
khasnya menyahut “Ini adalah layanan kotak suara XL untuk meninggalkan pesan tekan
tanda bintang, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi cobalah beberapa saat
lagi”.
Keesokan harinya beberapa kali pesan masuk ke ponsel Ardan,
namun tak digubris. Entah perasaan marah ataukah ia masih menata rasa di
hatinya. Hari berikutnya ketika ada pesan menanyakan perihal telefonnya kapan
hari, ia hanya menjawab tidak apa-apa.
“Kata dia kamu suka aku?” Ardan bertanya dengan sedikit
bimbang. Apakah keputusannya benar pada saat itu untuk menanyakan hal tersebut.
Akan tetapi baginya telefon dari Rea malam itu adalah kesempatannya untuk
bertanya.
“Lalu apa tanggapanmu ketika dia bilang seperti itu?” Rea
melontarkan pertanyaan setelah sedikit tertawa.
“Aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya mengenai
perasaanmu. Apakah yang dikatakannya benar adanya?”
“Enaknya gimana?” ini bukanlah jawaban yang diinginkan Ardan. Menurutnya kata lain yang dapat menenangkan hatinya harus keluar dari mulut Rea.
“Kalau perasaan itu bukan enak atau nggak enak, tetapi
bagaimana yang sebenarnya?” Ardan meluruskan tanggapan Rea.
“Kenapa kapan hari kamu telefon?”
“Untuk memastikan perkataan dia benar atau tidak. Lalu
bagaimana apakah benar rasa itu kau miliki?”
Nganjuk, 30 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar