Selasa, 30 Juli 2013

RASA #2


RASA #2
>>>Putri Raflessia<<<

Sebenarnya hatinya yakin bahwa perhatian Rea bukan hanya sekadar perhatian seorang teman.Sosok asing yang bahkan hanya dikenalnya satu bulan terakhir sebelum Rea mengakhiri tugasnya di lingkungan kerja yang sama dengannya. Tapi dia tak mau menganggap perhatian itu. Gadis yang telah mengisi hatinya adalah alasan ia hanya mampu menanggapi setiap rumor dengan senyuman. 

Satu kota bukan berarti bisa bersua dengan leluasa. Ardan tak pernah berpikir ia dapat bertemu dengan Rea, setelah mereka tak berada di lingkungan kerja yang sama. Sinyal masih sering mengabarkan suara mereka. Satu waktu kunjungan Rea membuat mulut Ardan terkunci rapat. Mulutnya tak mampu berkata sepatah katapun. Matanya memandang gadis yang beberapa hari lalu masih berbicara dengannya melalui ponsel. Ada rasa yang hinggap di hatinya. Dia menepis kuat-kuat, mungkin hanya sekadar nafsu karena dia baru saja putus dengan gadis yang dicintainya.

Ardan terdiam memikirkan perkataan temannya mengenai Rea. Meskipun dia sebenarnya yakin rasa cinta itu ada pada hati Rea. Tapi seribu bimbang menghampiri hatinya. Baginya sangat ganjil tiba-tiba mengatakan ada rasa di hatinya setelah hampir satu tahun mereka mengenal dan Ardan masih tetap menjadi pribadi yang dingin tak banyak omong. Disahutnya ponsel, menekan nomor Rea, untuk mengklarifikasi ucapan temannya. Seorang perempuan dengan gaya khasnya menyahut “Ini adalah layanan kotak suara XL untuk meninggalkan pesan tekan tanda bintang, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi cobalah beberapa saat lagi”.

Keesokan harinya beberapa kali pesan masuk ke ponsel Ardan, namun tak digubris. Entah perasaan marah ataukah ia masih menata rasa di hatinya. Hari berikutnya ketika ada pesan menanyakan perihal telefonnya kapan hari, ia hanya menjawab tidak apa-apa.

“Kata dia kamu suka aku?” Ardan bertanya dengan sedikit bimbang. Apakah keputusannya benar pada saat itu untuk menanyakan hal tersebut. Akan tetapi baginya telefon dari Rea malam itu adalah kesempatannya untuk bertanya.

“Lalu apa tanggapanmu ketika dia bilang seperti itu?” Rea melontarkan pertanyaan setelah sedikit tertawa.

“Aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya mengenai perasaanmu. Apakah yang dikatakannya benar adanya?”

“Enaknya gimana?” ini bukanlah jawaban yang diinginkan Ardan. Menurutnya kata lain yang dapat menenangkan hatinya harus keluar dari mulut Rea.

“Kalau perasaan itu bukan enak atau nggak enak, tetapi bagaimana yang sebenarnya?” Ardan meluruskan tanggapan Rea.

“Kenapa kapan hari kamu telefon?”

“Untuk memastikan perkataan dia benar atau tidak. Lalu bagaimana apakah benar rasa itu kau miliki?”

Nganjuk, 30 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar