RASA #1
>>>Putri Raflessia<<<
Jantungnya memompa darah Rea hingga begitu deras hingga
detaknya tak karuan. Ada rasa di hatinya yang belum pernah Rea rasakan
sebelumnya. Bukan rasa sakit ataupun bahagia yang tiada tara yang membuatnya
mampu membisu dalam beberapa saat. Lelaki yang duduk di ruangan itu bahkan tak
melihat ada kehadirannya. Rea juga belum tahu namanya, dan apa jabatannya
sehingga ada di ruangan itu. Tapi rasa itu mampu mengusik hatinya.
Tiga bulan di lingkungan kerja yang sama. Rasa itu mungkin
rasa penasaran yang berubah menjadi suka. Rea tak berani menyebut cinta, karena
takdir kehidupannya pada saat itu belum mengajaknya merasakan cinta pada lelaki
asing. Ardan, Rea mengetahui namanya di mushola lingkungan kerjanya, saat
beberapa orang dengan sengaja menyebut namanya. Otaknya sontak memerintahkan
ujung bibirnya tertarik mengukir senyum.
Hampir setahun saat rasa itu menghampiri hati Rea dan Rea
menyebutnya suka. Lelaki yang telah diketahui namanya dan sedikit perangainya
masih saja menyisakan rasa dalam hatinya meski lama tak bersua. Rea tak pernah
mengenal Ardan lewat tegur sapa atau perbincangan di lingkungan kerjanya.
Justru ia mengenal lewat suara yang mengalir lewat sinyal.
“Kata dia kamu suka aku?” hampir setahun dan tiba-tiba Rea
tertodong dengan empat kata yang tak pernah ia sangka keluar dari mulut Ardan.
“Lalu apa tanggapanmu ketika dia bilang seperti itu?” Rea
ingin sekali melontarkan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan Ardan, baginya
ia perlu tahu mengapa Ardan tiba-tiba menanyakan itu. Rea perlu tahu apakah
Ardan juga menyukainya. Tetapi kata “Bagaimana dengan dirimu, apakah kau
menyukaiku?” tak mampu keluar dari mulutnya.
“Aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya mengenai
perasaanmu. Apakah yang dikatakannya benar adanya?”
“Enaknya gimana?”
Ada bulir menetes menuruni pipi Rea. Bulir itu tiba-tiba
saja mengalir di sela-sela sholatnya. Mungkin ia merasa berdosa karena dalam
sholatnya otaknya tak mau berkompromi dan masih terisi semua kata dari Ardan
dalam harinya setahun terakhir.
“Allah maafkan aku jika ia mengisi hati dan otakku hingga
mengganggu ibadah ini. Bukanlah kemauanku, tapi aku sungguh tak mampu
mengendalikan rasa dalam hati dan otakku.”
Nganjuk, 30 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar